Laman

Jumat, 03 Januari 2003

Mamink Daeng Tata, Pelopor Konro

 
Dalam usaha coto dan konro, warungnya paling laris di Jakarta. Bagaimana resep dan lika-likunya membesarkan warung khas Makasar itu?
 

makassar.tribunnews.com
Garis hidup memang tak bisa ditebak. Apa yang dialami Muhammad Amin atau Mamink adalah contohnya. Dua belas tahun lalu, ia masih berjualan coto dan kontro—makanan khas Makasar—di kaki lima Jalan Soepomo, Jakarta. Karyawannya pun tak lebih dari sepuluh orang. Namun, pada 11 Maret 2001 ia sudah membuka “warung” berukuran 121 meter persegi di Jalan KH. Abdullah Syafi’ie, Jakarta—sekitar satu kilometer selepas Stasiun Kereta Api Tebet bila dari Terminal Kampung Melayu ke arah Jalan Casablanca. Warung itu dinamai Mamink Daeng Tata—diambil dari nama Muhammad Amin saat kecil, dan setelah menikah dijuluki daeng atau yang dituakan oleh keluarga dan masyarakat Makasar.

Karena pembelinya terus meningkat, beberapa bulan kemudian Mamink memperluas warung itu menjadi 150 meter persegi, hingga sekarang ini. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 8 Agustus 2004 lalu, ia membuka cabang warung itu di Perumahan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Bahkan, kini ia sedang membangun warung sejenis di seberang jalan warung utama itu.

Kini jumlah karyawannya mencapai 138 orang. Sebagian menempati pondokan yang disediakan Mamink di belakang persis warung Mamink Daeng Tata di Jalan Abdullah Syafi’ie itu.

Pada tahun 2007 ia akan membuka waralaba warung miliknya. Kemungkinan bisa lebih cepat satu tahun dari yang direncanakan. Alasannya, “Dengan banyak cabang berarti saya dapat menciptakan lapangan kerja lebih banyak lagi. Tapi, saya tidak ingin tergesa-gesa karena warung Mamink Daeng Tata identik dengan keberadaan saya. Warung ini penuh dengan sentuhan seni saya,” ujar Mamink.

Mamink memang selalu mengontrol warung miliknya setiap saat. Pagi sebelum warung ini dibuka ia selalu mengecek bumbu dan bahan-bahan yang hendak dimasak. Setelah masak pun, ia harus mencoba lebih dahulu bersama istri atau anak-anaknya. Saat warung ini buka pada pukul 10.00 hingga 22.00, ia tak sungkan-sungkan menjadi “tukang parkir” mobil bagi para pengunjung warung makan itu. Ia pun sering mengantarkan makanan dan menyapa pengunjung dengan ramah.

Dalam perjalanannya kemudian, Mamink juga tidak semata membuka warung itu sebagai mata pencaharian. Tapi, mampu memberi arti pada masyarakat sekitarnya. “Sukses bukan tujuan. Tapi, nikmatnya justru dalam perjalanan,” tegas Mamink.

Tidak heran, bila setiap pagi—sebelum warung itu dibuka—ia selalu silaturahim dan membagikan sebagian makanannya kepada karyawannya sendiri maupun tetangga warung. Bahkan, setiap menjelang salat Jumat, ia membagikan makanan lebih banyak kepada mereka yang membutuhkan, khususnya kaum miskin. “Dengan cara seperti itu, banyak hikmah yang saya dapat. Salah satunya punya banyak saudara. Prinsipnya, dalam menjalankan kehidupan ini saya selalu menerapkan makna tulus, ikhlas, alas (selesai), fulus, dan mulus. Karena itu, bila seseorang memberi tapi penuh harap, pasti nanti akan kecewa,” ujar ayah dari tiga orang anak itu.

Mamink juga selalu menyedekahkan hasil keuntungan warung itu kepada yang berhak minimal  2,5 persen, bahkan ada anggaran khusus untuk anak-anak yatim piatu. “Kalau tidak, berarti saya merampas hak mereka,” jelas Mamink.

Dalam menjalankan usaha, Mamink selalu memberi upah dan hak-hak lain kepada para karyawannya sebelum keringatnya kering. Selain mendapat gaji bulanan, mereka dapat uang insentif, bonus penjualan, dan uang insidentil lainnya lebih dari cukup. Model yang ia terapkan adalah model bagi hasil. “Karena itu, semua karyawan saya betah dan senang bekerja di warung saya,” katanya.

Warung Mamink tetap tidak tersaingi, meskipun bermunculan warung sejenis di sepanjang Jalan Abdullah Syafi’ie dan sekitarnya. “Bukankah semua rezeki yang mengatur Allah semata,” tutur Mamink, merendah.

Perjalanan Mamink dalam mempopulerkan makanan khas Makasar, sekaligus keberhasilannya dalam menjalankan warung kontro terlaris di Jakarta, memang penuh warna.

Lahir pada 6 Juli 1956 di Makasar, Sulawesi Selatan, ia anak ketujuh dari sebelas bersaudara, pasangan H. Abdul Rahim dan Hj. Intan.

Ayahnya seorang pengusaha ulet dan orang terpandang di Makasar pada jamannya. Tidak heran bila sejak kelas satu SD Mamink sudah disuruh menunggu pompa bensin milik ayahnya yang dikelola kakak kandung Mamink.

Saat kelas lima SD, Mamink sudah diberi tanggung-jawab penuh mengelola pompa bensin yang kedua milik ayahnya, “Hidup ini memang belajar. Dan, saya senang belajar kepada ayah saya serta lingkungan sekitarnya,” tuturnya.

Meski Mamink sibuk di pompa bensin, ia selalu rangkin pertama di sekolahnya. Ia juga suka kegiatan pramuka. Kelak, hobinya memasak di organisasi panduan itu, banyak manfaatnya dalam mengelola warung kontro.

Selepas lulus SMA, Mamink makin sibuk bekerja mengurusi usaha ayahnya. Selain pompa bensin, ia juga mengurusi bisnis minyak tanah.

Setelah menikah dengan Hermina Rauf pada usia 18 tahun, Mamink lebih menggeluti bisnis minyak tanah. Dari mulai melayani truk-truk tangki hingga ke pengecer-pengecer kecil. Jiwa sosialnya juga makin tumbuh. Ia menolong puluhan anak supir truk tangki yang menganggur untuk dipekerjakan sebagai penyalur minyak tanah ke restoran, hotel, hingga rumah-rumah penduduk.

Mamink kemudian masuk ke bisnis elpiji. Karena sudah punya pasar, ia dengan mudah memperoleh pelanggan.

Mengingat ayahnya mulai menangani bengkel mobil Mercedes, Mamink pun beralih membantu ayahnya di bidang usaha ini. Saat ayahnya menjadi dealer mobil Ford, sedan dan truk, hingga akhirnya mobil Mercedes. Aming lagi-lagi membantu ayahnya sebagai dealer mobil-mobil itu. “Lama-lama saya menjual Mercedes yang dijadikan bus dan tangki bahan baker minyak,” kata Mamink, yang pernah menjadi Ketua Ikatan Motor Indonesia Makasar (1986) dan ketua HIPMI Sulawesi, pada tahun yang sama.

Saat pengguna antena parabola marak di Sulawesi pada tahun 1984-an, Mamink juga ikut berkiprah memasok alat-alat itu ke Makasar dan daerah-daerah sekitarnya. Ia membeli alat-alat itu di Pasar Glodok Jakarta.

Pada 4 Juni 1989, Mamink pindah ke Jakarta dengan memboyong seorang putri sulungnya. Sementara istrinya masih ditinggal di Makasar. Ia mengikuti jejak kepindahan ayahnya yang menangani bisnis pompa bensin di  Warung Buncit, Jakarta Selatan, beberapa tahun sebelumnya.  “Saya pindah ke Jakarta karena ibukota ini memang menjanjikan,” katanya.

Di Jakarta, Mamink tinggal di daerah Menteng, dekat rumah kakaknya dan tetap memasok antenna parabola ke Makasar. Hanya betah beberapa bulan, ia bersama keluarganya pindah ke daerah Tebet, Jakarta, pada September 1989. Di rumah ini, ia membantu istrinya membuat kue kering dengan merek dagang Nona Kristin—sambil terus bisnis parabola dan mengekspor molasses ke Taiwan dan Korea Selatan.

Karena bisnis kue ini tidak disetujui orangtua, akhirnya Mamink menghentikan usahanya pada tahun 1991. Kehidupan pun seperti roda berputar. Ia “terpuruk”. Guna mengisi dapurnya yang harus terus mengepul, ia jualan barang-barang bekas bermerek. Setelah itu, ia menjadi konsultan property. Ia pernah menjual 1200 rumah di Lippo Karawaci, Tangerang hanya dalam waktu sebulan.

Roda kembali berputar menuju ke atas. Pada tahun 1993, ia bersama istri menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah ia bersimpuh, “Ya Allah, uang saya banyak menyangkut di orang. Tolong lebihkan orang itu rezeki sehingga ia bisa mengucurkan uang ke saya.”

Sebelum berangkat haji, ia kedatangan dua saudaranya dari Makasar. Mereka menunggu rumah Mamink hingga pulang ibadah haji. Mereka adalah juru masak coto paling enak dan terkenal di Pasar Sentral, Makasar. Karena pasar itu kebakaran, mereka tidak bisa berjualan lagi di tempat itu. Akhirnya mereka bermaksud mencari kerja di perusahaan Mamink di Jakarta karena mendengar kabar Mamink sukses menjadi seorang pembuat dan penjual roti kering.

Nah, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji, pada 8 Agustus 1993 Mamink mengajak mereka untuk membuka warung coto di kaki lima jalan Soepomo, Jakarta. Selain coto dan kontro, warung itu juga menyediakan jantung hati, daging, limpa dan lidah. Warung kaki lima itu diberi nama Coto Saudara.

Awal membuka warung itu, modalnya hanya sekitar lima juta rupiah. Tenaga kerjanya juga hanya berjumlah enam orang: ia dan anak sulungnya, dua saudara Mamink itu, dan dua mantan supir pengantar roti.

Ia baru bisa membuka warung makan itu bada maghrib—karena petugas trantib melarang jualan di pagi hingga sore hari. Salah satu jurus marketingnya adalah menyuruh para supir taksi yang mangkal di sekitar warungnya untuk mencicipi secara gratis. Tidak hanya itu, ia juga sering memberikan bungkusan kepada mereka secara berlebih—untuk istri dan anak-anak mereka di rumah. Lambat laun, warung itu dikenal sebagai warung taksi.

Ia juga membuat iklan selebaran dengan sedikit unik: “Kalau tidak enak, tidak usah bayar”. Dalam waktu singkat, pelanggan pun makin banyak. Dari para pekerja kantoran dan orang-orang Korea di sekitar jalan Supomo, hingga para supir taksi dan penumpang taksinya sekaligus. Pasalnya, para supir taksi sering berpromosi kepada para penumpangnya: ada warung makan coto enak di daerah Supomo. “Para supir taksi itu sangat berjasa membantu saya dalam berpromosi,” kata Mamink sambil berurai air mata.

Karena pelanggannya makin banyak, Mamink membuka warung itu satu jam lebih awal, hingga akhirnya buka setiap jam 13.00. “Para trantib tidak lagi mengusir-usir saya sebab saya punya semboyan, kalau kali-kali bagus, maka bagi-bagi harus bagus. Artinya, kalau trantib bisa makan tiga kali dan menjadi saudara, maka mereka tidak bakal mengusirnya,” ujar Mamink sambil tersenyum.

Masalah baru terjadi bila ada penggalian pam, kabel telepon atau listrik, warungnya harus pindah ke tempat lain. Sayangnya lagi, saat warungnya sedang naik daun, ada saudara Mamink yang membuat fitnah dan mempermalukan dirinya di hadapan kedua orangtua, “Masa, anak seorang pengusaha jualan warung di kaki lima,” kata saudara Mamink itu.

Akibat terprovokasi, Ayah Mamink melarang anaknya untuk berjualan di kaki lima. “Kalau kamu tidak berhenti, saya akan bakar warung itu,” ancam ayah Mamink.

“Tidak mungkin ayah membakar warung itu sebab ada bank dan perkantoran di sana. Bisa-bisa bank dan perkantoran itu ikut terbakar,” sangkal Mamink.

“Kalau tidak bisa akan saya guntung-gunting tendanya,” jawab Ayah Mamink lagi.

Akhirnya pada tahun 1994, Mamink berhenti jualan coto di kaki lima. Para pelanggannya pun merasa kehilangan. Namun, dua tahun kemudian, ia membeli sebuah rumah kecil di jalan Abdullah Syafi’ie—seberang warungnya sekarang yang terkenal. Pada Maret 1996 ia membuka warung coto kembali di rumah yang baru dibelinya itu, dari pukul 10.00 hingga sekitar pukul 22.00. Warungnya masih bernama Coto Bersaudara. Para pelanggannya datang kembali ditambah para pelanggan baru.

Makin lama jalananan di sepanjang Abdullah Syafi’ie itu macet. Akhirnya sebuah surat kabar menulis berita negative, “Jalanan Casablanca macet karena dimakan kontro Makasar”.

Berita yang sebetulnya negatif, ternyata membuat orang penasaran ingin merasakan coto buatan Mamink. “Mungkin, awalnya mereka mengira, spanduk bertuliskan kontro di sepanjang pinggir jalan itu bengkel. Eh, ternyata warung khas Makasar. Mereka pun ingin mencoba dan akhirnya ketagihan,” kata Mamink, bersyukur. Dari sinilah orang mulai mengenal kontro sebagai makanan khas Makasar.

Karena pelanggannya makin banyak, dua tahun kemudian Mamink membuka cabang di jalan Tebet Utara I, Jakarta, hingga warung itu ditutup pada 2004. Sekarang tempat itu hanya dijadikan tempat produksi bahan-bahan untuk coto dan kontro.  

Pada tahun 2001, Mamink membeli sebuah rumah petak di seberang jalan—masih bernama jalan Abdullah Syafi’ie. Awalnya ia membuat warung dengan luas hanya 136 meter persegi. Nama warung itu pun diganti nama Mamink Daeng Tata. Beberapa bulan kemudian ia bisa membeli rumah-rumah petak itu hingga seluas sekitar 1000 meter persegi. Kini Sebagian besar untuk pemondokan para pekerjanya dan yang 150 meter persegi untuk warung Mamink Daeng tata.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Matra



Tidak ada komentar:

Posting Komentar