Dalam usaha coto dan konro,
warungnya paling laris di Jakarta. Bagaimana resep dan lika-likunya membesarkan
warung khas Makasar itu?
makassar.tribunnews.com |
Karena
pembelinya terus meningkat, beberapa bulan kemudian Mamink memperluas warung
itu menjadi 150 meter persegi, hingga sekarang ini. Tiga tahun kemudian, tepatnya
pada 8 Agustus 2004 lalu, ia membuka cabang warung itu di Perumahan Permata
Hijau, Jakarta Selatan. Bahkan, kini ia sedang membangun warung sejenis di
seberang jalan warung utama itu.
Kini
jumlah karyawannya mencapai 138 orang. Sebagian menempati pondokan yang
disediakan Mamink di belakang persis warung Mamink Daeng Tata di Jalan Abdullah
Syafi’ie itu.
Pada tahun 2007 ia akan membuka
waralaba warung miliknya. Kemungkinan bisa lebih cepat satu tahun dari yang
direncanakan. Alasannya, “Dengan banyak cabang berarti saya dapat menciptakan
lapangan kerja lebih banyak lagi. Tapi, saya tidak ingin tergesa-gesa karena
warung Mamink Daeng Tata identik dengan keberadaan saya. Warung ini penuh dengan
sentuhan seni saya,” ujar Mamink.
Mamink memang selalu mengontrol warung
miliknya setiap saat. Pagi sebelum warung ini dibuka ia selalu mengecek bumbu
dan bahan-bahan yang hendak dimasak. Setelah masak pun, ia harus mencoba lebih
dahulu bersama istri atau anak-anaknya. Saat warung ini buka pada pukul 10.00
hingga 22.00, ia tak sungkan-sungkan menjadi “tukang parkir” mobil bagi para
pengunjung warung makan itu. Ia pun sering mengantarkan makanan dan menyapa pengunjung
dengan ramah.
Dalam perjalanannya kemudian, Mamink
juga tidak semata membuka warung itu sebagai mata pencaharian. Tapi, mampu memberi
arti pada masyarakat sekitarnya. “Sukses bukan tujuan. Tapi, nikmatnya justru dalam
perjalanan,” tegas Mamink.
Tidak heran, bila setiap pagi—sebelum
warung itu dibuka—ia selalu silaturahim dan membagikan sebagian makanannya
kepada karyawannya sendiri maupun tetangga warung. Bahkan, setiap menjelang
salat Jumat, ia membagikan makanan lebih banyak kepada mereka yang membutuhkan,
khususnya kaum miskin. “Dengan cara seperti itu, banyak hikmah yang saya dapat.
Salah satunya punya banyak saudara. Prinsipnya, dalam menjalankan kehidupan ini
saya selalu menerapkan makna tulus, ikhlas, alas (selesai), fulus, dan mulus. Karena
itu, bila seseorang memberi tapi penuh harap, pasti nanti akan kecewa,” ujar
ayah dari tiga orang anak itu.
Mamink
juga selalu menyedekahkan hasil keuntungan warung itu kepada yang berhak minimal 2,5 persen, bahkan ada anggaran khusus untuk
anak-anak yatim piatu. “Kalau tidak, berarti saya merampas hak mereka,” jelas
Mamink.
Dalam
menjalankan usaha, Mamink selalu memberi upah dan hak-hak lain kepada para
karyawannya sebelum keringatnya kering. Selain mendapat gaji bulanan, mereka dapat
uang insentif, bonus penjualan, dan uang insidentil lainnya lebih dari cukup.
Model yang ia terapkan adalah model bagi hasil. “Karena itu, semua karyawan
saya betah dan senang bekerja di warung saya,” katanya.
Warung
Mamink tetap tidak tersaingi, meskipun bermunculan warung sejenis di sepanjang
Jalan Abdullah Syafi’ie dan sekitarnya. “Bukankah semua rezeki yang mengatur
Allah semata,” tutur Mamink, merendah.
Perjalanan Mamink dalam mempopulerkan
makanan khas Makasar, sekaligus keberhasilannya dalam menjalankan warung kontro
terlaris di Jakarta, memang penuh warna.
Lahir
pada 6 Juli 1956 di Makasar, Sulawesi Selatan, ia anak ketujuh dari sebelas
bersaudara, pasangan H. Abdul Rahim dan Hj. Intan.
Ayahnya
seorang pengusaha ulet dan orang terpandang di Makasar pada jamannya. Tidak
heran bila sejak kelas satu SD Mamink sudah disuruh menunggu pompa bensin milik
ayahnya yang dikelola kakak kandung Mamink.
Saat
kelas lima SD, Mamink sudah diberi tanggung-jawab penuh mengelola pompa bensin yang
kedua milik ayahnya, “Hidup ini memang belajar. Dan, saya senang belajar kepada
ayah saya serta lingkungan sekitarnya,” tuturnya.
Meski
Mamink sibuk di pompa bensin, ia selalu rangkin pertama di sekolahnya. Ia juga
suka kegiatan pramuka. Kelak, hobinya memasak di organisasi panduan itu, banyak
manfaatnya dalam mengelola warung kontro.
Selepas
lulus SMA, Mamink makin sibuk bekerja mengurusi usaha ayahnya. Selain pompa
bensin, ia juga mengurusi bisnis minyak tanah.
Setelah
menikah dengan Hermina Rauf pada usia 18 tahun, Mamink lebih menggeluti bisnis
minyak tanah. Dari mulai melayani truk-truk tangki hingga ke pengecer-pengecer
kecil. Jiwa sosialnya juga makin tumbuh. Ia menolong puluhan anak supir truk
tangki yang menganggur untuk dipekerjakan sebagai penyalur minyak tanah ke restoran,
hotel, hingga rumah-rumah penduduk.
Mamink
kemudian masuk ke bisnis elpiji. Karena sudah punya pasar, ia dengan mudah
memperoleh pelanggan.
Mengingat
ayahnya mulai menangani bengkel mobil Mercedes, Mamink pun beralih membantu
ayahnya di bidang usaha ini. Saat ayahnya menjadi dealer mobil Ford, sedan dan
truk, hingga akhirnya mobil Mercedes. Aming lagi-lagi membantu ayahnya sebagai
dealer mobil-mobil itu. “Lama-lama saya menjual Mercedes yang dijadikan bus dan
tangki bahan baker minyak,” kata Mamink, yang pernah menjadi Ketua Ikatan Motor
Indonesia Makasar (1986) dan ketua HIPMI Sulawesi, pada tahun yang sama.
Saat
pengguna antena parabola marak di Sulawesi pada tahun 1984-an, Mamink juga ikut
berkiprah memasok alat-alat itu ke Makasar dan daerah-daerah sekitarnya. Ia
membeli alat-alat itu di Pasar Glodok Jakarta.
Pada
4 Juni 1989, Mamink pindah ke Jakarta dengan memboyong seorang putri sulungnya.
Sementara istrinya masih ditinggal di Makasar. Ia mengikuti jejak kepindahan ayahnya
yang menangani bisnis pompa bensin di
Warung Buncit, Jakarta Selatan, beberapa tahun sebelumnya. “Saya pindah ke Jakarta karena ibukota ini memang
menjanjikan,” katanya.
Di
Jakarta, Mamink tinggal di daerah Menteng, dekat rumah kakaknya dan tetap
memasok antenna parabola ke Makasar. Hanya betah beberapa bulan, ia bersama
keluarganya pindah ke daerah Tebet, Jakarta, pada September 1989. Di rumah ini,
ia membantu istrinya membuat kue kering dengan merek dagang Nona Kristin—sambil
terus bisnis parabola dan mengekspor molasses ke Taiwan dan Korea Selatan.
Karena
bisnis kue ini tidak disetujui orangtua, akhirnya Mamink menghentikan usahanya
pada tahun 1991. Kehidupan pun seperti roda berputar. Ia “terpuruk”. Guna
mengisi dapurnya yang harus terus mengepul, ia jualan barang-barang bekas
bermerek. Setelah itu, ia menjadi konsultan property. Ia pernah menjual 1200
rumah di Lippo Karawaci, Tangerang hanya dalam waktu sebulan.
Roda
kembali berputar menuju ke atas. Pada tahun 1993, ia bersama istri menunaikan
ibadah haji. Di depan Kabah ia bersimpuh, “Ya Allah, uang saya banyak
menyangkut di orang. Tolong lebihkan orang itu rezeki sehingga ia bisa
mengucurkan uang ke saya.”
Sebelum
berangkat haji, ia kedatangan dua saudaranya dari Makasar. Mereka menunggu rumah
Mamink hingga pulang ibadah haji. Mereka adalah juru masak coto paling enak dan
terkenal di Pasar Sentral, Makasar. Karena pasar itu kebakaran, mereka tidak
bisa berjualan lagi di tempat itu. Akhirnya mereka bermaksud mencari kerja di perusahaan
Mamink di Jakarta karena mendengar kabar Mamink sukses menjadi seorang pembuat
dan penjual roti kering.
Nah,
setelah pulang dari menunaikan ibadah haji, pada 8 Agustus 1993 Mamink mengajak
mereka untuk membuka warung coto di kaki lima jalan Soepomo, Jakarta. Selain
coto dan kontro, warung itu juga menyediakan jantung hati, daging, limpa dan
lidah. Warung kaki lima itu diberi nama Coto Saudara.
Awal
membuka warung itu, modalnya hanya sekitar lima juta rupiah. Tenaga kerjanya juga
hanya berjumlah enam orang: ia dan anak sulungnya, dua saudara Mamink itu, dan
dua mantan supir pengantar roti.
Ia
baru bisa membuka warung makan itu bada maghrib—karena petugas trantib melarang
jualan di pagi hingga sore hari. Salah satu jurus marketingnya adalah menyuruh
para supir taksi yang mangkal di sekitar warungnya untuk mencicipi secara
gratis. Tidak hanya itu, ia juga sering memberikan bungkusan kepada mereka secara
berlebih—untuk istri dan anak-anak mereka di rumah. Lambat laun, warung itu
dikenal sebagai warung taksi.
Ia
juga membuat iklan selebaran dengan sedikit unik: “Kalau tidak enak, tidak usah
bayar”. Dalam waktu singkat, pelanggan pun makin banyak. Dari para pekerja
kantoran dan orang-orang Korea di sekitar jalan Supomo, hingga para supir taksi
dan penumpang taksinya sekaligus. Pasalnya, para supir taksi sering berpromosi
kepada para penumpangnya: ada warung makan coto enak di daerah Supomo. “Para
supir taksi itu sangat berjasa membantu saya dalam berpromosi,” kata Mamink
sambil berurai air mata.
Karena
pelanggannya makin banyak, Mamink membuka warung itu satu jam lebih awal,
hingga akhirnya buka setiap jam 13.00. “Para trantib tidak lagi mengusir-usir
saya sebab saya punya semboyan, kalau kali-kali bagus, maka bagi-bagi harus
bagus. Artinya, kalau trantib bisa makan tiga kali dan menjadi saudara, maka
mereka tidak bakal mengusirnya,” ujar Mamink sambil tersenyum.
Masalah
baru terjadi bila ada penggalian pam, kabel telepon atau listrik, warungnya
harus pindah ke tempat lain. Sayangnya lagi, saat warungnya sedang naik daun,
ada saudara Mamink yang membuat fitnah dan mempermalukan dirinya di hadapan
kedua orangtua, “Masa, anak seorang pengusaha jualan warung di kaki lima,” kata
saudara Mamink itu.
Akibat
terprovokasi, Ayah Mamink melarang anaknya untuk berjualan di kaki lima. “Kalau
kamu tidak berhenti, saya akan bakar warung itu,” ancam ayah Mamink.
“Tidak
mungkin ayah membakar warung itu sebab ada bank dan perkantoran di sana.
Bisa-bisa bank dan perkantoran itu ikut terbakar,” sangkal Mamink.
“Kalau
tidak bisa akan saya guntung-gunting tendanya,” jawab Ayah Mamink lagi.
Akhirnya
pada tahun 1994, Mamink berhenti jualan coto di kaki lima. Para pelanggannya pun
merasa kehilangan. Namun, dua tahun kemudian, ia membeli sebuah rumah kecil di jalan
Abdullah Syafi’ie—seberang warungnya sekarang yang terkenal. Pada Maret 1996 ia
membuka warung coto kembali di rumah yang baru dibelinya itu, dari pukul 10.00
hingga sekitar pukul 22.00. Warungnya masih bernama Coto Bersaudara. Para
pelanggannya datang kembali ditambah para pelanggan baru.
Makin
lama jalananan di sepanjang Abdullah Syafi’ie itu macet. Akhirnya sebuah surat
kabar menulis berita negative, “Jalanan Casablanca macet karena dimakan kontro
Makasar”.
Berita
yang sebetulnya negatif, ternyata membuat orang penasaran ingin merasakan coto
buatan Mamink. “Mungkin, awalnya mereka mengira, spanduk bertuliskan kontro di
sepanjang pinggir jalan itu bengkel. Eh, ternyata warung khas Makasar. Mereka
pun ingin mencoba dan akhirnya ketagihan,” kata Mamink, bersyukur. Dari sinilah
orang mulai mengenal kontro sebagai makanan khas Makasar.
Karena
pelanggannya makin banyak, dua tahun kemudian Mamink membuka cabang di jalan
Tebet Utara I, Jakarta, hingga warung itu ditutup pada 2004. Sekarang tempat
itu hanya dijadikan tempat produksi bahan-bahan untuk coto dan kontro.
Pada
tahun 2001, Mamink membeli sebuah rumah petak di seberang jalan—masih bernama
jalan Abdullah Syafi’ie. Awalnya ia membuat warung dengan luas hanya 136 meter
persegi. Nama warung itu pun diganti nama Mamink Daeng Tata. Beberapa bulan
kemudian ia bisa membeli rumah-rumah petak itu hingga seluas sekitar 1000 meter
persegi. Kini Sebagian besar untuk pemondokan para pekerjanya dan yang 150
meter persegi untuk warung Mamink Daeng tata.
Domery
Alpacino
Catatan:
Pernah dimuat di majalah Matra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar