Laman

Minggu, 02 Februari 2003

Ayam Goreng Ala Indonesia

Bisnis ayam bakar dan ayam goreng tak ada matinya. Malah, akhir-akhir ini makin booming.

kaniablog.wordpress.com
Pada dasarnya, orang Indonesia lebih suka mengkonsumsi daging ayam ketimbang daging  ternak.  Pasalnya, harga daging ayam jauh lebih murah ketimbang jenis daging lainnya. Selain itu, daging ayam bergizi tinggi. Daging ayam juga mudah didapat dan diterima semua lapisan masyarakat. Umat Hindu Bali, misalnya, tidak akan makan daging sapi karena mereka memuliakan binatang tersebut.

            Tak heran, jika banyak orang menekuni bisnis ayam. Mulai dari beternak ayam hingga berbagai jenis makanan lezat dari daging tersebut. Yang popular adalah ayam bakar dan ayam goreng tepung yang lebih dikenal dengan fried chicken


            Anda bisa lihat sekarang ini, dari kedai, warung, resto, hingga gerobak dorong atau di bawah tenda kaki lima menjajakan ayam bakar atau tepung yang bertebaran hingga ke kota-kota kecil, bahkan desa sekalipun.

Bisnis ini memang praktis, murah dan menggiurkan. Meski bisnis ini sempat diterpa isu flu burung, tapi tetap berjalan alias tidak ada matinya, sekalipun pada saat krisis ekonomi melanda bangsa kita pada 1998 lalu. Pasalnya, selagi orang mau makan, ditambah arus  urbanisasi yang begitu deras, manusia kota ingin segera mendapatkan makanan cepat saji sepulang dari kantor atau kerja. Mereka tidak ingin bertambah capai, sehingga jalan satu-satunya membeli makanan yang murah tapi lezat dan disukai, yaitu ayam olahan berupa ayam bakar atau ayam tepung berbumbu.

Soal ingin laris manis, Anda mesti piawai membidik dan memanjakan konsumen. Caranya, mampu meracik bumbu dan mengolahnya agar punya cita rasa super lezat dan kekhasan sendiri. Racikan bumbu yang pas menjadi salah satu kekuatan setiap penjaja menu tersebut. Kalau bisa, mampu menjajakan di tempat strategis dan menyediakan tempat yang nyaman. Tapi, ini hanya pelengkap.  

Menurut Direktur Utama PT Ayam Goreng Fatmawati Indonesia (AGFI), Johan Wahyudi, seperti dilansir Agrina, perkembangan bisnis ayam goreng dan ayam bakar berkait erat dengan bisnis makanan secara umum, sehingga perkembangannya akan terus semakin besar. Tidak akan berhenti selama orang masih membutuhkan makanan.

Corporate Secretary PT Sierad Produce TBK (salah satu pemasok daging ayam), Elies Lestari Setiawan, menyampaikan hal senada. Menurut dia, perkembangan resto ayam lokal, khususnya di kawasan Jabedetabog (Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor), semakin booming, mereka tumbuh di mana-mana. “Tentu saja ini merupakan peluang pasar bagi kami sebagai pemasok bahan baku,” ujar Elies, masih seperti dilansir Agrina.

Di luar Jabedetabog, sekarang Anda bisa lihat sendiri, bertebaran di mana-mana. Misalnya saja di Solo. Pada 1998 baru ada 50 pedagang ayam bakar dan goreng  kaki lima (PKL). Kini lebih dari 125 pedagang yang resmi terdaftar di Dinas Pembinaan dan Penataan PKL Solo, Jawa Tengah. Belum yang tercatat, mungkin jauh lebih banyak.

Modal sendiri akhirnya Waralaba

Awalnya, kebanyakan bisnis ayam olahan ini dari modal sendiri. Ada yang bermula dari modal cekak hingga mengucurkan modal langsung cukup besar. Maklum, untuk mendapatkan tempat strategis dan menyediakan tempat nyaman, butuh modal puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah.

Tahroni, misalnya, pada awal 1990 membuka warung ayam goreng di Lembang, Bandung hanya bermodal Rp500.000. Saat itu, ia cuma menggunakan gerobak dorong dan membuka di pinggir jalan Lembang. Empat tahun kemudian, dagangan pria asal Brebes, Jawa Tengah, yang mengandalkan ayam local sebagai menu utama itu, sudah berkembang pesat. Ia bisa membuka sebuah restoran cukup mewah, masih di daerah yang sama. Kini ia punya empat cabang, semuanya ada di Lembang, dengan omset ratusan juta rupiah per bulan. 

Agus Pramono, juga mengeluarkan modal yang hampir sama dengan Tahroni. Penjual ayam bakar yang mangkal di kaki lima daerah Tebet, Jakarta Selatan ini bermula hanya dengan sebuah gerobak.  Ia memberi nama dagangannya: Ayam Bakar Mas Mono. Enam tahun kemudian, Agus sudah memiliki tujuh warung yang letaknya di penjuru Jakarta. Setiap tahun, ia bisa mengembangkan satu sampai dua warung. Targetnya, pada tahun mendatang ia berusaha membuka dua warung setiap tahun.

Atik Triani, penjual ayam goreng tepung yang mangkal di kaki lima di wilayah Sukasari, Bogor Jawa Barat, tidak berbeda dengan Tahroni dan Agus dalam soal modal. Kini perempuan asal Madiun ini sudah punya dua gerai dengan merek Ayam Goreng Nanda, hanya dalam waktu dua tahun. Per bulan 0mset kedua gerai tersebut mencapai lebih dari Rp40 juta.
AGFI juga bermula dari usaha dan modal pribadi Nyonya Fatmawati. Nama jualannya ia beri nama Ayam Goreng Fatmawati (AGF). Sepuluh tahun kemudian, pada 2000 ia mendirikan PT AGFI untuk mengelola jaringan waralaba (franchise) AGF.

Menurut Johan, tujuan didirikan AGFI adalah menciptakan lapangan pekerjaan, melestarikan masakan tradisional, serta menciptakan pasar bagi petani dan peternak local.
Saat ini, AGFI memiliki 58 gerai waralaba yang tersebar di 14 kota di tanah air, terbanyak di Jakarta. Tahun lalu saja, AGFI mampu membuka 12 gerai dan pertumbuhan gerai AGFI rata-rata 15 persen per tahun. “Rata-rata balik modal dalam dua tahun. Hal ini sangat tergantung pada lokasi gerainya. Tapi, ada juga yang mampu balik modal hanya dalam satu tahun, seperti di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara,” ujar Johan.

Tahun ini AGFI menargetkan penambahan 18 gerai. Setiap tahun AGFI juga menyempurnakan system, lantas menerapkan standart operational procedure (SOP), dan standarisasi bumbu.

Konsep franchise ini, tambah Johan, dirancang untuk memberikan panduan, solusi, dan alternative bagi pengusaha. Mulai dari SOP manajemen restoran, pemasaran dan promosi, memasak, pengelolaan karyawan, materi promosi, hingga soal hygiene.


Harga, Menu, dan Kemasan Istimewa

Agar dagangan ayam bakar dan goreng tetap dibanjiri konsumen, para pebisnis perlu melakukan terobosan atau inovasi. Misalnya, dalam soal harga, menu yang khas, hingga mampu mengemas produk yang menarik.

Atik, misalnya, menjual ayam goreng tepung bagian dada atau paha dengan harga Rp2.500/potong, sayap Rp2.000/potong, dan punggung Rp1.000/potong. Dari seekor ayam, mantan pegawai toko ini mampu memperoleh Rp27.000. Jika dikalikan 50 potong/hari atau 1.500 potong/bulan, maka nilai transaksi mencapai Rp43,5 juta/bulan. Bila keuntungan ayam goreng tepung rata-rata 20 persen, keuntungan kotor yang diraih sekitar Rp8.700.000/bulan.
Agar berbeda dalam soal rasa, Atik membuat racikan bumbu sendiri yang disesuaikan dengan selera konsumen Bogor. Cara memasaknya dengan menggunakan kompor gas agar dapat menghasilkan gorengan lebib cerah. Ia juga menggunakan wadah styrofoam untuk paket nasi dan bungkus ayamnya ia rancang sendiri.

Bagi Pak Karno yang punya warung lesehan ayam bakar dan ayam goreng di Solo, punya kiat khusus agar  pembeli terus terpincut. Ia menciptakan sambal istimewa yang khas yang berbeda dengan warung ayam bakar dan goreng lainnya. Alhasil, meski sambal itu hanya pelengkap, pembeli terus mengalir.

Lain lagi yang diterapkan warung lesehan ayang goreng lunak Putro Bengawan Solo, Benny Setiawan. Ia menyuguhkan ayam goreng presto yang khas dan pengelolaannya dilakukan sendiri. Alhasil, rasanya super lezat dan mengandung selera tersendiri.

Berbeda dengan mereka, AGFI terus mencoba menyajikan menu baru. Pembeli juga dapat menikmati sea food dan daging iga. AGFI juga terus melakukan upaya menciptakan standar menu dengan menggunakan bumbu instant alami. Hanya saja, dalam soal harga memang jauh berbeda dengan yang ada di kaki lima. Sepotong ayam goreng plus nasi dan sayuran di warung tak bermerek cuma Rp8.000, di AGFI dengan harga yang sama, hanya memperoleh sepotong daging ayam goreng. Tapi, bukankah kelezatan yang khas atau kenyamanan mampu mengalahkan harga?

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Healthnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar