Bisnis
ayam bakar dan ayam goreng tak ada matinya. Malah, akhir-akhir ini makin booming.
kaniablog.wordpress.com |
Pada
dasarnya, orang Indonesia lebih suka mengkonsumsi daging ayam ketimbang
daging ternak. Pasalnya, harga daging ayam jauh lebih murah
ketimbang jenis daging lainnya. Selain itu, daging ayam bergizi tinggi. Daging
ayam juga mudah didapat dan diterima semua lapisan masyarakat. Umat Hindu Bali,
misalnya, tidak akan makan daging sapi karena mereka memuliakan binatang
tersebut.
Tak heran, jika banyak orang
menekuni bisnis ayam. Mulai dari beternak ayam hingga berbagai jenis makanan
lezat dari daging tersebut. Yang popular adalah ayam bakar dan ayam goreng
tepung yang lebih dikenal dengan fried
chicken.
Anda bisa lihat sekarang ini, dari
kedai, warung, resto, hingga gerobak dorong atau di bawah tenda kaki lima
menjajakan ayam bakar atau tepung yang bertebaran hingga ke kota-kota kecil,
bahkan desa sekalipun.
Bisnis ini memang praktis, murah dan
menggiurkan. Meski bisnis ini sempat diterpa isu flu burung, tapi tetap
berjalan alias tidak ada matinya, sekalipun pada saat krisis ekonomi melanda bangsa
kita pada 1998 lalu. Pasalnya, selagi orang mau makan, ditambah arus urbanisasi yang begitu deras, manusia kota ingin
segera mendapatkan makanan cepat saji sepulang dari kantor atau kerja. Mereka
tidak ingin bertambah capai, sehingga jalan satu-satunya membeli makanan yang
murah tapi lezat dan disukai, yaitu ayam olahan berupa ayam bakar atau ayam
tepung berbumbu.
Soal ingin laris manis, Anda mesti
piawai membidik dan memanjakan konsumen. Caranya, mampu meracik bumbu dan
mengolahnya agar punya cita rasa super lezat dan kekhasan sendiri. Racikan
bumbu yang pas menjadi salah satu kekuatan setiap penjaja menu tersebut. Kalau
bisa, mampu menjajakan di tempat strategis dan menyediakan tempat yang nyaman.
Tapi, ini hanya pelengkap.
Menurut Direktur Utama PT Ayam Goreng
Fatmawati Indonesia (AGFI), Johan Wahyudi, seperti dilansir Agrina, perkembangan bisnis ayam goreng dan
ayam bakar berkait erat dengan bisnis makanan secara umum, sehingga
perkembangannya akan terus semakin besar. Tidak akan berhenti selama orang
masih membutuhkan makanan.
Corporate Secretary PT Sierad Produce
TBK (salah satu pemasok daging ayam), Elies Lestari Setiawan, menyampaikan hal
senada. Menurut dia, perkembangan resto ayam lokal, khususnya di kawasan
Jabedetabog (Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor), semakin booming, mereka tumbuh di mana-mana. “Tentu
saja ini merupakan peluang pasar bagi kami sebagai pemasok bahan baku,” ujar
Elies, masih seperti dilansir Agrina.
Di luar Jabedetabog, sekarang Anda
bisa lihat sendiri, bertebaran di mana-mana. Misalnya saja di Solo. Pada 1998
baru ada 50 pedagang ayam bakar dan goreng
kaki lima (PKL). Kini lebih dari 125 pedagang yang resmi terdaftar di
Dinas Pembinaan dan Penataan PKL Solo, Jawa Tengah. Belum yang tercatat,
mungkin jauh lebih banyak.
Modal sendiri akhirnya Waralaba
Awalnya, kebanyakan bisnis ayam olahan
ini dari modal sendiri. Ada yang bermula dari modal cekak hingga mengucurkan
modal langsung cukup besar. Maklum, untuk mendapatkan tempat strategis dan
menyediakan tempat nyaman, butuh modal puluhan juta, bahkan ratusan juta
rupiah.
Tahroni, misalnya, pada awal 1990
membuka warung ayam goreng di Lembang, Bandung hanya bermodal Rp500.000. Saat
itu, ia cuma menggunakan gerobak dorong dan membuka di pinggir jalan Lembang.
Empat tahun kemudian, dagangan pria asal Brebes, Jawa Tengah, yang mengandalkan
ayam local sebagai menu utama itu, sudah berkembang pesat. Ia bisa membuka
sebuah restoran cukup mewah, masih di daerah yang sama. Kini ia punya empat
cabang, semuanya ada di Lembang, dengan omset ratusan juta rupiah per bulan.
Agus Pramono, juga mengeluarkan modal
yang hampir sama dengan Tahroni. Penjual ayam bakar yang mangkal di kaki lima
daerah Tebet, Jakarta Selatan ini bermula hanya dengan sebuah gerobak. Ia memberi nama dagangannya: Ayam Bakar Mas
Mono. Enam tahun kemudian, Agus sudah memiliki tujuh warung yang letaknya di
penjuru Jakarta. Setiap tahun, ia bisa mengembangkan satu sampai dua warung.
Targetnya, pada tahun mendatang ia berusaha membuka dua warung setiap tahun.
Atik Triani, penjual ayam goreng
tepung yang mangkal di kaki lima di wilayah Sukasari, Bogor Jawa Barat, tidak
berbeda dengan Tahroni dan Agus dalam soal modal. Kini perempuan asal Madiun
ini sudah punya dua gerai dengan merek Ayam Goreng Nanda, hanya dalam waktu dua
tahun. Per bulan 0mset kedua gerai tersebut mencapai lebih dari Rp40 juta.
AGFI juga bermula dari usaha dan modal
pribadi Nyonya Fatmawati. Nama jualannya ia beri nama Ayam Goreng Fatmawati
(AGF). Sepuluh tahun kemudian, pada 2000 ia mendirikan PT AGFI untuk mengelola
jaringan waralaba (franchise) AGF.
Menurut Johan, tujuan didirikan AGFI
adalah menciptakan lapangan pekerjaan, melestarikan masakan tradisional, serta
menciptakan pasar bagi petani dan peternak local.
Saat ini, AGFI memiliki 58 gerai
waralaba yang tersebar di 14 kota di tanah air, terbanyak di Jakarta. Tahun
lalu saja, AGFI mampu membuka 12 gerai dan pertumbuhan gerai AGFI rata-rata 15
persen per tahun. “Rata-rata balik modal dalam dua tahun. Hal ini sangat
tergantung pada lokasi gerainya. Tapi, ada juga yang mampu balik modal hanya
dalam satu tahun, seperti di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara,” ujar Johan.
Tahun ini AGFI menargetkan penambahan
18 gerai. Setiap tahun AGFI juga menyempurnakan system, lantas menerapkan standart operational procedure (SOP),
dan standarisasi bumbu.
Konsep franchise ini, tambah Johan, dirancang untuk memberikan panduan,
solusi, dan alternative bagi pengusaha. Mulai dari SOP manajemen restoran,
pemasaran dan promosi, memasak, pengelolaan karyawan, materi promosi, hingga
soal hygiene.
Harga, Menu, dan Kemasan Istimewa
Agar dagangan ayam bakar dan goreng
tetap dibanjiri konsumen, para pebisnis perlu melakukan terobosan atau inovasi.
Misalnya, dalam soal harga, menu yang khas, hingga mampu mengemas produk yang
menarik.
Atik, misalnya, menjual ayam goreng
tepung bagian dada atau paha dengan harga Rp2.500/potong, sayap Rp2.000/potong,
dan punggung Rp1.000/potong. Dari seekor ayam, mantan pegawai toko ini mampu
memperoleh Rp27.000. Jika dikalikan 50 potong/hari atau 1.500 potong/bulan,
maka nilai transaksi mencapai Rp43,5 juta/bulan. Bila keuntungan ayam goreng
tepung rata-rata 20 persen, keuntungan kotor yang diraih sekitar
Rp8.700.000/bulan.
Agar berbeda dalam soal rasa, Atik
membuat racikan bumbu sendiri yang disesuaikan dengan selera konsumen Bogor. Cara
memasaknya dengan menggunakan kompor gas agar dapat menghasilkan gorengan lebib
cerah. Ia juga menggunakan wadah styrofoam
untuk paket nasi dan bungkus ayamnya ia rancang sendiri.
Bagi Pak Karno yang punya warung
lesehan ayam bakar dan ayam goreng di Solo, punya kiat khusus agar pembeli terus terpincut. Ia menciptakan
sambal istimewa yang khas yang berbeda dengan warung ayam bakar dan goreng
lainnya. Alhasil, meski sambal itu hanya pelengkap, pembeli terus mengalir.
Lain lagi yang diterapkan warung
lesehan ayang goreng lunak Putro Bengawan Solo, Benny Setiawan. Ia menyuguhkan
ayam goreng presto yang khas dan pengelolaannya dilakukan sendiri. Alhasil,
rasanya super lezat dan mengandung selera tersendiri.
Berbeda dengan mereka, AGFI terus
mencoba menyajikan menu baru. Pembeli juga dapat menikmati sea food dan daging iga. AGFI juga terus melakukan upaya
menciptakan standar menu dengan menggunakan bumbu instant alami. Hanya saja,
dalam soal harga memang jauh berbeda dengan yang ada di kaki lima. Sepotong
ayam goreng plus nasi dan sayuran di warung tak bermerek cuma Rp8.000, di AGFI
dengan harga yang sama, hanya memperoleh sepotong daging ayam goreng. Tapi,
bukankah kelezatan yang khas atau kenyamanan mampu mengalahkan harga?
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Healthnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar