Crony Soeharto ternyata sebagian besar terlibat kolusi
korupsi dan nepotisme (KKN). Mereka tidak lepas dari jerat hukum jika pihak
kejaksaan memeriksa dengan sungguh-sungguh.
forum.kompas.com |
Crony dalam bahasa Indonesia berarti teman atau shabat
karib. Menurut ahli hukum pidana dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Bambang Poernomo, pengertian crony secara hokum
sesungguhnya tidak ada. Crony kemudian berkembang sebagai orang-orang yang
turut serta dalam pernyataan kejahatan dan permufakatan kejahatan. “Mereka yang
sekarang dipanggil ke Kejaksaan Agung, itu sudah masuk dalam kategori crony
Soeharto,” tegas Bambang.
Menurut sumber di Kejaksaan Agung (Kejagung) puluhan
menteri “Kabinet Pembangunan”, pejabat tinggi lainnya selama rezim Orde Baru
berkuasa, konglomerat dan beberapa anggota keluarga Soeharto tidak akan lepas
untuk dimintai keterangan di Kejagung dalam kaitan KKN.
store.tempo.co |
Bob Hasan, Tunky Ariwibowo, Hediyanto (bendahara Yayasan
Dharmais), Sanyoto, Ginandjar, Sumarlin, Beddu Amang, Ricardo Gelael, Hutomo “Tommy”
Mandala Putra, dan Marie Muhammad (16/12), termasuk mereka yang pernah dipanggil
Kejagung. Boleh jadi mereka yang terbukti terlibat KKN, nantinya akan diseret
ke pengadilan.
Dari sekian orang crony Soeharto tersebut baru tiga orang
yang dijadikan tersangka, yaitu Tommy, Beddu Amang dan Ricardo. Mereka
dinyatakan sebagai tersangka dalam
perkara tukar guling tanah gudang milik Bulog dan PT Goro Bhatara Sakti.
Mereka yang menyusul dipanggil dalam waktu dekat untuk
dimintai keterangan, kemungkinan besar Bambang Kesowo dan Fuad Bawazir. “Paling
tidak bisa dihitung dengan jari menteri yang tidak terlibat KKN, seperti Marie
dan Giri Soeseno,” ungkap Sarwono Kusumaatmadja, suatu kali.
Menyusul berikutnya, Abdul Latief (terkait dengan
penyalahgunaan dana PT Jamsostek sebesar Rp 3,1 miliar untuk menggoalkan RUU
Ketenagakerjaan saat menjabat Menraker), Kardinal Mochtar (diduga korupsi saat
menjabat Menteri Pekerjaan Umum), Intan Suweno, Haryono Suyono, Subiakto
Tjakrawerdaya dan beberapa keluarga Soeharto lainnya, serta Om Liem dan Prayogo
Pangestu. Malah tidak tertutup kemungkinan Abdul Gaofur dan Harmoko pun dapat
kena jerat.
Cuma persoalannya, Harmoko, yang kini masih menjabat Ketua
MPR/DPR akan sulit diperiksa. Sebab, ia masih menjabat sebagai ketua lembaga
tertinggi Negara, yang tak dapat diperiksa Kejagung, sebuah lembaga di bawahnya.
Jika nanti tidak lagi menduduki posisi tersebut, ia pun tak lepas dari jeratan hokum.
Domery Alpacino, laporan Hendaru
Catatan: Pernah dimuat di Tabloid politik Realitas, Juli
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar