Sejatinya,
emisi gas yang berasal dari hasil bakaran dalam kegiatan manusia merupakan
konsekuensi kehidupan sehari-hari di planet bumi ini. Emisi gas yang terjadi,
pun bukan semata-mata berasal dari kegiatan manusia, tapi juga dari proses
alami. Misalnya, pada pernafasan daun, letusan gunung berapi, proses kehidupan
alamiah di hutan, kebakaran spontan dalam hutan, dan proses biokimia yang
terjadi di rawa. Gas yang diemisikan secara alami ini, menurut Dr. dr.
Rachmadhi Purwaka SKM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Jakarta, merupakan bagian dari proses daur ulang yang selalu terjadi secara
dinamik dalam rangka menuju keseimbangan alamiah.
“Selama
jumlah emisi gas hasil bakaran itu masih dalam batas-batas kesanggupan alam
mendaur-ulangkan kembali, emisi gas tidak akan mengganggu secara nyata
kehidupan di bumi. Namun, apabila peningkatan gas akibat kegiatan manusia telah
melampau kepasitas daur ulang alami, tentu saja menyebabkan penumpukan gas,
tidak hanya pada lingkungan mikro, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya
keseimbangan lingkungan makro, di antaranya dalam bentuk pemanasan global yang
secara tidak langsung berakibat pada kesehatan masyarakat,” ungkap Rachmadhi. Di
samping efek gas yang tidak langsung itu, lanjut Rachmadhi, jenis-jenis
kandungan gas emisi itu pun berpotensi menimbulkan akibat secara langsung
terhadap kesehatan masyarakat.
Kehadiran beberapa komponen gas emisi yang terbentuk dari kendaraan bermotor (gas karbon monoksida, gas nitrogen, dan gas gas-gas nitrogen oksida, serta gas-hidrokarbon) dan ini merupakan bahan xenobiotic (zat asing bagi tubuh manusia), papar Rachmadhi, juga menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan pada manusia secara langsung. Karbon monoksida, misalnya, akan menimbulkan gangguan pada sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh. Gas-gas nitrogen oksida merupakan gas yang berpotensi menurunkan imunitas tubuh, dan gas-gas hidrokarbon, jelas dapat menimbulkan iritasi, gangguan sistem tubuh dan kanker.
Kehadiran beberapa komponen gas emisi yang terbentuk dari kendaraan bermotor (gas karbon monoksida, gas nitrogen, dan gas gas-gas nitrogen oksida, serta gas-hidrokarbon) dan ini merupakan bahan xenobiotic (zat asing bagi tubuh manusia), papar Rachmadhi, juga menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan pada manusia secara langsung. Karbon monoksida, misalnya, akan menimbulkan gangguan pada sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh. Gas-gas nitrogen oksida merupakan gas yang berpotensi menurunkan imunitas tubuh, dan gas-gas hidrokarbon, jelas dapat menimbulkan iritasi, gangguan sistem tubuh dan kanker.
Pemanasan
Global
Menurut
Rachmadhi, pemanasan global mulai disadari ketika kira-kira pada dekade 1960-an
sampai 1970-an, para ahli dihadapkan dengan data mengenai terhentinya
pendinginan udara. Sebelumnya, bumi mengalami pendinginan dengan laju setengah
derajat setiap tahunnya. Tetapi, proses pemanasan global yang ketika itu
terdeteksi di belahan bumi bagian utara, menyebabkan proses pendinginan bumi
terhenti. Sejak itu, kondisi ini berlanjut dengan pemanasan global yang
menjurus kepada peningkatan suhu udara.
![]() |
| infosayangibumi.blogspot.com |
Para
ahli yang tergabung dalam badan the National Oceanographic and Atmospheric
Administration di Amerika Serikat, lalu percaya bahwa pemanasan global terjadi
akibat penumpukan gas karbon dioksida di atmosfir lapisan atas sebagai hasil
bakaran dalam kegiatan manusia. Kehadiran gas karbon dioksida dalam jumlah yang
banyak ini seakan menjadi peredam bagi albedo atau derajat refleksi bumi
terhadap sinar matahari yang memungkinkan bumi terhindar dari panas yang
berlebihan. Refleksi bumi terhadap sinar matahari itu terjadi karena pemantulan
sinar matahari oleh partikel-partikel debu, awan, permukaan air, hamparan
salju, dan es.
Di
samping gas karbon dioksida, papar Rachmadhi, beberapa gas lain juga diketahui
turut dalam pemanasan global itu. Gas-gas yang dimaksud, antara lain, gas ozon
yang terdapat pada atmosfir lapisan bawah, gas metana, gas-gas
klorofluorokarbon, gas-gas nitrogen oksida, dan uap air. Awan yang merupakan
penangkis sinar matahari pemanas bumi, ternyata juga menghalangi pelepasan panas
yang dipantulkan bumi sehingga turut berperan dalam proses pemanasan global.
Menurut
Rachmadhi, diketahui bahwa kontribusi terbesar pemanasan global adalah dari gas
karbon dioksida, yaitu sebanyak 49 persen, sedangkan gas metana hanya 18
persen, gas-gas klorofluorokarbon 14 persen, gas-gas nitrogen oksida 6 persen,
dan gas-gas lainnya sebesar 13 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dari segala macam gas penyebab terjadinya pemanasan global, gas karbon dioksida
merupakan gas yang paling membahayakan. Sebaliknya, pemanasan global oleh gas
karbon dioksida melalui greenhouse effect itu, merupakan prakondisi bagi
kehidupan manusia dan kebanyakan hewan. Seandainya proses ini tidak terjadi,
suhu rata-rata udara di permukaan bumi adalah minus 20 derajat Celcius.
Namun,
dalam periode waktu belakangan ini, kata Rachmadhi, bumi mendapat pasokan
berlebihan gas-gas itu. Pembakaran hutan dan bahan bakar fosil, kegiatan
industri, pembangkit tenaga, dan emisi kendaraan bermotor mengkontribusikan gas
karbon dioksida dan gas-gas lainnya ke atmosfir. “Pemasokan gas-gas ini terjadi
secara berlebihan dan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu”, tegasnya.
Akibat
Adanya Peningkatan Jumlah Manusia dan Pembangunan
Peningkatan
jumlah manusia dan aselerasi pembangunan yang mengiringinya, menimbulkan
tuntutan tersedianya bahan pangan yang berlipat-lipat kali banyak dibanding
masa-masa lalu. Pola bercocok tanam tradisional tidak sanggup lagi memenuhi
desakan kebutuhan pangan dunia, sehingga pola pertanian mengalami revolusi yang
memaksa terjadinya penebasan hutan untuk keperluan lahan bercocok tanam dan
tempat hunian.
Dengan
pembukaan lahan pertanian yang menyebabkan dibongkarnya hutan penyerap gas
karbon dioksida melalui proses asimilasi, papar Rachmadhi, peningkatan kadar gas
karbon dioksida di atmosfir menjadi lebih tak terkendali. Dalam keadaan biasa
hutan dan tumbuhan pada umumnya merupakan salah satu unsur yang berperan
mentranformasikan gas karbon dioksida menjadi bahan-bahan keperluan pertumbuhan
bagi tanaman dalam daur-ulang karbon. “Menurut perkiraan, bila kondisi lain
mendukung, diperlukan tanaman 20 milyar pohon setiap tahun untuk dapat menyerap
67 persen emisi tahunan gas karbondioksida di Amerika Serikat,” katanya.
Di
samping karbon dioksida, jelas Rachmadhi, gas-gas klorofluorokarbon, yang
merupakan kelompok gas buatan manusia, juga berperan dalam pemanasan global.
Gas-gas klorofluorokarbon bukan merupakan emisi gas hasil bakaran kegiatan
manusia. Kelompok gas ini dibuat untuk beberapa keperluan, di antaranya, sebagai
bahan pendingin (diklorodifluorometana atau freon), bahan pelarut dalam
industri, bahan pencuci komponen elektronik, bahan tambahan pada cat yang mudah
menguap, bahan pembuatan karet busa plastik (karet busa poliuretana), dan
tabung semprot aerosol. “Walaupun jumlah gas klorofluorokarbon jauh lebih
sedikit daripada jumlah gas karbon dioksida, setiap molekul gas
klorofluorokarbon berpotensi menimbulkan greenhouse effect sebesar 10 ribu kali
dibandingkan dengan molekul gas karbon dioksida,” tegasnya.
Sekali
masuk ke atmosfer, urai rachmadhi, gas klorofluorokarbon dapat bertahan antara
75 tahun sampai dengan 110 tahun. Sementara berada di sana, gas ini akan
beraksi melenyapkan gas ozon perisai pelindung bumi terhadap sinar matahari
berlebihan. Akibat kelebihan sinar matahari ini, timbul perubahan-perubahan
pada iklim, kehidupan satwa dan flora. Fitoplankton dan algae bahan makanan
untuk ikan dimatikan oleh sinar matahari berlebih ini. Akibatnya, penyerapan
gas kardon dioksida oleh banyaknya flora air yang mati ini pun turut berkurang.
Rachmadhi
menegaskan, pemanasan global berlebihan merupakan juga proses yang menimbulkan
beberapa efek pada faktor lingkungan kehidupan manusia, seperti kemungkinan
pencairan gunung-gunung es yang akan menenggelamkan beberapa bagian daratan,
perubahan iklim yang berakibat pada kelangkaan pangan penduduk. Lanjutan akibat
yang perlu diperhitungkan adalah terjadinya migrasi penduduk bumi seperti yang
terjadi pada zaman es di masa purbakala dengan potensi kekacauan sosial umat
manusia secara global.
Domery Alpacino
catatan: pernah dimuat di PDPersi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar