Ia mengaku tak pernah berdoa, sebab bekerja dan berkarya baginya adalah doa itu sendiri. Ia bekerja dan berkarya hanya untuk Dia semata.
WAJAHNYA tampak layu. Nafasnya sedikit tersengal-sengal. Badannya tergolek lemas di balai-balai ruang tamu. Namun, saat penulis mengajak ngobrol soal kehidupan, ia tiba-tiba bersemangat. Bangkit dari tidur-tidurannya, ia menyampaikan beberapa pemikirannya, lupa akan penyakit yang sedang diidapnya. Ia adalah Radhar Panca Dahana, salah seorang sastrawan yang cukup produktif.
http://deisydwi.files.wordpress.com |
Hari itu, awal bulan Agustus lalu, sebenarnya jadual untuk cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tapi, berhubung hari itu rumahnya kemasukan pencuri yang menggondol panel dashboard mobil bututnya, ia pun urung ke rumah sakit. Sejak 19 bulan lalu, sastrawan yang meraih beberapa penghargaan nasional ini menderita gagal ginjal akut sehingga harus menjalani cuci darah tiga kali seminggu a Rp 500.000.
Tapi, alhamdulillah, setiap kali akan cuci darah, ia sering mendapat rezeki nomplok. “Rezeki itu datangnya dari mana-mana,” katanya. Suatu hari, misalnya, ketika membuka pintu rumah, tiba-tiba ia menemukan selembar cek senilai Rp3 juta, entah dari siapa. Lain kali, awal Agustus lalu, sastrawan Danarto menelepon dan diterima oleh isteri Radhar. “Apa sih yang dibutuhkan Radhar saat ini?” tanya Danarto. “Gampang mas, es batu,” jawab nyonya Radhar bukan dengan maksud bercanda.
Danarto pun mengusulkan agar nyonya Radhar membeli kulkas secara cicilan, sementara Danarto yang membayar angsurannya. Radhar pun akhirnya mempunyai kulkas baru.
Kulkas lama milik Radhar memang sering ngadat. Untuk membuat es batu saja memerlukan waktu empat hari. Padahal, setiap hari Radhar tergantung pada es batu. Ia hanya bisa minum dua gelas sehari. Lebih dari dua gelas, keselamatan jiwanya terancam. Air yang diminum harus panas sekali atau sangat dingin -- supaya ia bisa minum sedikit demi sedikit, berlahan-lahan.
http://www.jendelasastra.com |
Bagaimana ia sering mendapat rezeki secara tiba-tiba? Sejak awal ia tidak pernah beranggapan sebagai karyawan perusahaan meski bekerja pada orang lain. Ia mengaku sebagai karyawan Allah. “Saya kerja di rumah, di luar rumah, atau di halaman, prinsipnya hanya untuk Dia,” ungkap lelaki yang debut kepengarangannya dimulai sejak usia 10 tahun.
Yang dimaksud oleh Radhar dengan “bekerja untuk Dia” ialah aktualisasi diri dengan mengoptimalkan potensi kemanusiaan dalam dirinya. “Kalau berusaha dengan baik, kita sudah menjalankan syari’ah, memanfaatkan berkahNya, rahmat-Nya, yang Ia limpahkan kepada kita,” ujar mantan wartawan di berbagai media itu. Allah memberi gaji atau tidak, bagi lelaki yang pernah mendapat penghargaan sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK itu, pasrah kepada Allah. Tapi, ternyata ia masih mendapat gaji terus. “Entah lewat tangan siapa, itu terserah Allah,” katanya lagi.
Meski mengaku jarang berdoa, Radhar mencoba ikhlas. “Memangnya kalau orang sering berdoa, apa dia tidak sombong? Begitu dia minta istri cantik dan menginginkan anak yang baik, misalnya, lantas Allah memberikan yang jelek, dalam sekejap ia berubah memaki-maki Allah. Apakah itu bukan kesombongan?” ujar lelaki yang pernah menjadi penyanyi dan pemain pantomim ini. “Apa pun yang yang diberikan Allah, itulah doa yang sebenarnya. Doa itu tidak diucapkan, tapi digerakkan menjadi tindakan dalam pikiran, hati, dan seluruh pori-pori kita sesuai amanat yang digariskan Allah,” katanya lagi.
Pasif dan Artifisial
Doa buat sebagian orang mungkin hanyalah pertanda sikap yang pasif. Namun, bagi Radhar, doa adalah aktifitas. Begitu ia bekerja dengan sungguh-sungguh, itulah doa dalam arti yang aktif. Karena itu, hidup Radhar sesungguhnya penuh dengan doa. “Harapan pada pekerjaan, pada aktifitas, itu lebih utama ketimbang doa yang artifisial. Bukankah Allah tidak akan mengubah diri kita kecuali kita sendiri yang mengubahnya?” katanya lagi.
antarafoto.com |
Menurut Radhar, rangkaian kata-kata yang meluncur dari mulut seperti itu belum sampai pada tataran ‘cukup’. Jika orang mampu mengerti, memahami, dan mempraktekkan rasa ‘cukup’, berarti ia sudah sampai pada tahap ikhlas. Sebab, dengan ikhlas, terkandung rasa syukur itu sendiri. Tapi, ia mengaku belum bisa sampai ke sana, baru sampai pada tahap belajar. “Belum seluruh sisi dari pengertian ‘cukup’ ini bisa saya pahami, apalagi mempraktekkannya,” katanya.
Untuk bisa sampai ke sana, Radhar mempelajari biografi orang-orang terkenal seperti para nabi, tokoh-tokoh dunia seperti Winston Churchill, Shakespeare, Soekarno, Mahatma Gandhi, Einstein, Ibnu Saud, dan ratusan tokoh dunia lainnya. Ia mengambil yang baik-baik dari berbagai buku yang dibacanya. “Di antara ratusan tokoh itu, yang menurut saya paling menarik ialah Churchill dan Ibnu Saud. Dari cara hidup, makan, tidur, saya jadikan salah satu model hidup saya,” ujar Radhar sembari menyatakan tentu saja Muhammad adalah nomor satu dan paling dikagumi.
Dengan belajar kepada tokoh-tokoh itu, Radhar banyak mengambil manfaat, khususnya idealisme atau ideologinya. “Tapi untuk mempraktekkannya tentu perlu waktu bertahun-tahun. Dan itu sifatnya baru eksperimental, belum menjadi pandangan hidup. Untuk mewujudkannya sebagai pandangan hidup, saya selalu bercermin pada orang lain. Lingkungan manusia di sekitar saya adalah guru saya. Siapapun mereka, entah tukang sapu atau tukang sampah,” ujarnya pula.
Sejak menikah, anak kelima dari tujuh bersaudara ini takut punya anak. Alasannya, ia merasa berat bertanggungjawab, baik di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan istrinya yang begitu mendambakan buah hati. Namun, belakangan lelaki kelahiran Jakarta pada 26 Maret 1965 ini mulai berpikir untuk memperoleh keturunan sebagai karunia Allah.
Suatu malam, di Paris, ia salat tahajud dengan tujuan tunggal: mohon keturunan. Beberapa hari kemudian, sastrawan yang saat itu tengah belajar sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris ini mendengar kabar gembira: isterinya yang baru saja pulang kembali ke Jakarta dari Paris, hamil. Ia segera minta istrinya kembali ke Paris. Ia ingin merawatnya dengan baik, karena sudah empat kali keguguran. “Kali ini saya tidak boleh gagal lagi. Jangan sampai gagal untuk kelima kalinya. Kalau sampai keguguran lagi, saya adalah kerbau yang paling tolol di dunia,” kata Radhar.
Melengserkan Soeharto
warisanindonesia.com |
Tapi ternyata kehadiran istrinya di Paris tidak membuat Radhar lebih nyaman. Pasalnya, nyonya Radhar tidak punya asuransi kesehatan; ia belum dua tahun tinggal di Perancis. Karena itu, Radhar harus bolak-balik mengurus asuransi kesehatan sang istri. “Biaya untuk pemeriksaan kehamilan saja selangit. Apalagi biaya untuk operasi sesar,” kenang Radhar. Selain pusing urusan asuransi, Radhar juga harus belajar, menghadiri banyak kegiatan dengan para mahasiswa, dan ikut demo melengserkan Soeharto. Bisa dimaklum jika ia stres berat selama dua tahun. Dan penyakit pun menyambanginya: kepalanya sering pusing.
Usai menggondol master, istri Radhar menangis minta pulang, sementara orangtua dan mertuanya ingin sekali menimang cucu. Akhirnya Radhar dan isterinya pulang, meski beasiswanya sampai ke program doktor. Sebenarnya ia tak boleh pulang sebelum mengondol gelar doktor. Jika pulang, ia harus mengurus beasiswa kembali.
Sampai di rumah kepalanya masih saja pusing. Ketika masih di Paris, ia mengira hal itu mungkin karena suhu yang dingin. Tapi setelah diperiksa dokter, ia ternyata menderita tekanan darah tinggi. Radhar langsung shock mendengar ucapan dokter bahwa penyakitnya tak akan sembuh. Ketika ia pergi ke dokter lain, keterangan dokter sama saja. Tapi, suatu hari, ketika ia mengendarai mobil, tiba-tiba sekelilingnya tampak gelap. Ia segera menghubungi beberapa teman lewat telepon genggam. Teman-temannya datang menolongnya, membawanya ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta.
Setelah diperiksa, tekanan darahnya 230. Padahal tekanan darah orang normal hanya 130. “Siapa pun kalau tekanan darahnya sudah setinggi itu sudah stroke. Tapi, alhamdulillah, anda masih bisa bertahan,” kata Radhar menirukan dokternya.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan?” tanya Radhar.
“Saya sarankan Anda menjalani rawat inap selama 10 hari,” kata dokter. Tapi Radhar menolak, karena ia harus ke Filipina sesegera mungkin. “Tolong dokter, saya minta obat yang bisa bertahan selama 10 hari agar bisa ke Filipina. Sekembali dari sana saya pasti masuk ke rumah sakit,” ujar Radhar.
Dokter memberi obat, tapi tidak bertanggung-jawab jika Radhar menghadapi masalah. Dalam laporannya, dokter itu menulis dengan huruf-huruf, PASIEN MENOLAK. Singkat cerita, Radhar ke Filipina. Di sana, ternyata kegiatannya begitu banyak; dan pulang dari sana, ia lupa kembali ke rumah sakit.
Di Pangkuan Ibu
Suatu hari ia merasa lemas, selama seminggu tak bisa melakukan apa-apa. Ia berusaha berobat ke seorang shinse di Sukabumi yang memberinya ramuan dari tumbuh-tumbuhan khas Cina. Baru satu jam tiba di rumah, penyair yang akhir Agustus lalu meluncurkan kumpulan puisi Lalu Batu itu, menerima telepon dari sang shinse. “Mohon segera bapak kembali. Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan pada bapak,” kata shinse.
www.antarafoto.com |
Lagi-lagi Radhar harus masuk ke rumah sakit selama 13 hari. Kali ini, di seluruh tubuh Radhar muncul beberapa gelembung kecil-kecil seperti biduran. Ternyata, gelembung itu berisi air karena ginjal tidak berfungsi baik. Suatu hari, malam Minggu, Radhar merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya. Meski tak mampu lagi menahan rasa sakit, ia sempat menelepon ibunya. “Ibu, saya sakit sekali. Mohon ibu bisa datang,” pinta Radhar.
Tapi sang ibu belum kunjung tiba, sementara kesehatan Radhar semakin merosot. Ia pingsan, antara sadar dan tidak. Ketika itulah, sekitar pukul empat pagi, ibunya datang. Radhar koma di pangkuan ibunya. Dalam keadaan tak sadarkan diri, Radhar dibawa ke RSCM, Jakarta. Di sinilah ia mulai “menyerah”: Radhar bersedia melakukan cuci darah. Setelah empat kali cuci darah, ia sadar. Sejurus kemudian ia berantem dengan kakak kandung yang menolongnya, karena sejak semula ia tak bersedia cuci darah. “Saya tidak rela cuci darah. Sebab, sekali cuci darah, seumur hidup saya akan rutin harus cuci darah,” katanya kesal, karena cuci darah itu tanpa persetujuannya.
Untung dokternya menasihatinya. “Tidak akan seterusnya seseorang cuci darah. Paling satu atau dua minggu sekali. Bila kondisinya bertambah bagus, bisa satu bulan sekali. Bila kondisinya semakin bagus lagi, hanya enam bulan sekali. Dan seterusnya, semakin berkurang,” kata Radhar menirukan nasihat dokter. Awalnya, nasihat itu ada benarnya. Ia hanya cuci darah satu kali seminggu. Namun, pada minggu ke empat, ia tak bisa lagi menjalani cuci darah. Baru dua hari, nafasnya tersengal-sengal. Bila pada hari ketiga tidak cuci darah, ia sulit bernafas.
Pernah suatu malam, nafasnya nyaris berada di ujung pemberhentian. Ia segera dilarikan ke rumah sakit di Bogor, karena beberapa rumah sakit di Jakarta sudah tutup. Untuk bisa menjalani cuci darah dengan segera, kaca ruang dialysis di rumah sakit itu digedor dan dipecahkan. Setelah cuci darah selesai, dua jam kemudian Radhar bisa bernafas lega, dan tiga jam kemudian mulai terasa enak. Empat jam setelah itu ia bisa minum, dan lima jam kemudian bisa makan.
Kini Radhar menjalani cuci darah seminggu tiga kali secara rutin. Meski begitu, semangat berkaryanya tak pernah pudar. Ia tetap menulis cerpen-cerpen yang mampu menyentuh sisi kemanusiaan yang terdalam. Antologi puisi dan kumpulan pemikirannya telah banyak dibukukan. Bahkan tahun ini, di tengah derita sakit yang melandanya, ia akan segera meluncurkan dua buah buku: Refleksi Kaum Intelektual Indonesia dan Media dan Kita. Dalam keadaan sakit parah saja begitu produktif, apalagi kalau Radhar sehat.
Ego seorang seniman seperti Radhar tampaknya memang cukup “kuat”. Ia pantang menyerah bak tekad seorang Chairil Anwar yang, “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Tapi, mahluk Allah yang dhaif ini pada akhirnya menyerah juga. Itu tak berarti ia “menyerah”, sebab ia senantiasa berdoa dan bersyukur. Dan doa serta syukur itu ia wujudkan dalam karya-karya sastranya yang bermutu.
domery alpacino
catatan: dimuat di majalah Islam Alkisah
Luar biasa, kisah yang menginspirasi
BalasHapus