Laman

Sabtu, 31 Desember 2005

Karena Batal Mengeksekusi Xanana

Xanana batal dieksekusi dan dianggap sebagai pencetus serta otak peristiwa Santa Cruz pada 12 November 1991. Tapi kini Xanana menjadi presiden Timor Leste.

id.wikipedia.org
 Garis hidup memang tak bisa ditebak. Lantaran Letjen TNI (Purn.) Theo Syafei – yang ketika  itu menjabat Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Timur Timur (Timtim) – batal mengeksekusi Xanana Gusmao yang baru ditangkap, Panglima Falintil (jabatan panglima tertinggi dalam struktur Angkatan Bersenjata Fretilin) itu, kini bisa menjadi Presiden Timur Leste.


Padahal saat Xanana baru ditangkap di sebuah rumah penduduk di Desa Lahane Barat, Kecamatan Dili Barat, pada 20 November 1992, pukul 06.00 waktu setempat, Theo ingin segera “menuntaskan” saja. Namun, sebelum niat itu dilaksanakan, ia melapor lebih dahulu melalui sambungan telepon kepada Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Try Sutrisno, sekaligus meminta petunjuk bagi tindak lanjutnya, “Pak Try, Xanana sudah saya tangkap. Apakah bisa saya selesaikan, Pak?” kata Theo kepada Try Sutrisno.

Pangab tidak segera menjawab. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Kemudian terdengar suara tidak jelas di ujung telepon.
Sik, sik, sik…, mengko tak telepon (Nanti…, nanti…, saya telepon lagi),” kata Try Sutrisno, setengah gugup. Sejurus kemudian Pangab menutup teleponnya.

Ternyata Try Sutrisno tidak pernah menelepon kembali. Sebaliknya, “Sorenya Pangab tiba di Dili dengan rombongan besar,” tutur Theo.

Begitu tiba, Pangab langsung memanggil Xanana. Selanjutnya Pangab berdialog dengan tokoh yang dianggap sebagai pencetus dan otak peristiwa Santa Cruz pada 12 November 1991 itu, disertai seluruh rombongan para asisten Markas Besar ABRI.

Xanana akhirnya tidak jadi dieksekusi, apalagi ditahan di institusi militer. Ia hanya diproses berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan Undang-Undang Subversi.

movimentoprokak.blogspot.com
Dalam proses pemeriksaan untuk diadili, seperti penuturan Letjen (Purn.) Johny Lumintang, yang ketika itu menjabat Komandan Korem Dili, Xanana sempat melakukan mogok makan di Kodim.
  
Theo lalu menanyakan kepada Kepala Polwil Dili Kolonel (Pol) Nugroho Djajoesman, apa saja yang dipersiapkan dalam menyikapi mogok makannya Xanana. Rupanya yang tersedia adalah ambulans, sehingga Theo memerintahkan untuk menyiapkan peti mati.

Dialog antara Kapolwil dan Theo didengar Xanana. Kebetulan juga Xanana melihat sendiri peti mati bertanda salib kecil itu baru diletakkan dibalik terali besinya. Entah kenapa, malam hari ia minta kopi dan makan. Tampaknya Xanana takut mati juga.

Kisah menjelang, saat dan sesudah penangkapan Xanana serta implikasinya ini ditulis sangat menarik dan cukup detail dalam buku Tidar Bhakti Tiada Akhir, yang baru diluncurkan Desember lalu, dalam rangka 40 tahun pengabdian para alumni Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang Angkatan 1965.

Boleh jadi, buku ini kali pertama yang membedah kebenaran seputar penangkapan Xanana, “Mungkin kini sudah saatnya saya harus mengungkapkan kebenaran soal Xanana,”  tutur mantan Panglima Kodam Udayana, Theo Syafei.

Buku ini juga mengungkapkan peran penting para perwira Angkatan 1965 dalam tugas kemiliteran, khususnya operasi militer di Timor Timur, “Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk dijadikan pelajaran bagi pembentukan Tentara Nasional Indonesia yang profesional,” ungkap Peneliti CSIS, J. Kristiadi dalam kata pengantar buku ini.

Kurangnya latihan, sistem persenjataan dan logistik yang sangat terbatas, serta informasi intelejen yang salah, ternyata membawa dampak yang sangat buruk bagi sebuah operasi militer. Akibatnya, Fretilin betul-betul siap dalam mengantisipasi serangan TNI. Dalam buku ini, menariknya para alumni AMN Angkatan 1965 membeberkan semua kekurangan atau kelemahan rencana maupun saat operasi militer di Timtim itu,  “TNI sampai saat diperintahkan masuk Timtim sudah agak lama tertidur dan terlena akibat absennya ancaman terhadap Negara Indonesia,” ujar Letjen TNI (Purn.) Soeyono, mantan Kasum ABRI dan anggota pasukan sukarelawan TNI yang ditugasi ikut merencanakan Operasi Seroja itu.

www.kaskus.co.id

Buku ini juga mencoba menggambarkan bagaimana Angkatan 1965 selalu menjadi bagian sejarah dan arah republik ini. Mereka menafikkan istilah ABRI hijau, merah putih dan pelangi. Mereka menentang keras soal kuningisasi yang dilakukan Kepala Staf TNI Angkaan Darat (Kasad) R. Hartono, bahkan dengan keras menuding naiknya jenderal asal Madura itu dari Kepala Staf Sosial Politik menjadi Kasad dilakukan melalui intrik politik lewat koloborasi dengan kalangan istana, ‘Naiknya Hartono menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat di luar kelaziman dan diwarnai intrik,” ungkap Syamsir Siregar, yang kini menjabat Ketua Badan Intelijen Negara (BIN).

Pendek kata, buku ini banyak yang bisa dijadikan pelajaran, khususnya  dalam menanamkan nilai-nilai kultur demokrasi dengan mengkikis sekat-sekat idiologi, sentimen primordial, dan garis batas sosial ekonomi. Namun, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Misalnya, tidak ada hak jawab atau komentar R. Hartono atas tudingan soal kenaikan pangkat menjadi Kasad dan kuningisasi yang menyebabkan TNI telah disalahgunakan menjadi lembaga politik yang mengabdi pada ambisi perorangan. Andai buku ini dicetak ulang, akan jauh lebih menarik bila ada komentar R. Hartono. Atau Jenderal yang dikenal dekat dengan Mbak Tutut ini akan menulis buku sendiri dalam mengamini atau menyanggah tudingan para perwira Angkatan 1965 itu?

Domery Alpacino

Tidak ada komentar:

Posting Komentar