Xanana batal dieksekusi dan dianggap sebagai pencetus serta otak peristiwa Santa Cruz pada 12
November 1991. Tapi kini Xanana menjadi presiden Timor Leste.
id.wikipedia.org |
Garis
hidup memang tak bisa ditebak. Lantaran Letjen TNI (Purn.) Theo Syafei – yang
ketika itu menjabat Panglima Komando
Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Timur Timur (Timtim) – batal mengeksekusi
Xanana Gusmao yang baru ditangkap, Panglima Falintil (jabatan panglima
tertinggi dalam struktur Angkatan Bersenjata Fretilin) itu, kini bisa menjadi
Presiden Timur Leste.
Padahal saat Xanana baru ditangkap di sebuah rumah
penduduk di Desa Lahane Barat, Kecamatan Dili Barat, pada 20 November 1992,
pukul 06.00 waktu setempat, Theo ingin segera “menuntaskan” saja. Namun,
sebelum niat itu dilaksanakan, ia melapor lebih dahulu melalui sambungan
telepon kepada Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Try Sutrisno, sekaligus meminta
petunjuk bagi tindak lanjutnya, “Pak Try, Xanana sudah saya tangkap. Apakah
bisa saya selesaikan, Pak?” kata Theo kepada Try Sutrisno.
Pangab
tidak segera menjawab. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Kemudian
terdengar suara tidak jelas di ujung telepon.
“Sik,
sik, sik…, mengko tak telepon (Nanti…, nanti…, saya telepon lagi),” kata
Try Sutrisno, setengah gugup. Sejurus kemudian Pangab menutup teleponnya.
Ternyata
Try Sutrisno tidak pernah menelepon kembali. Sebaliknya, “Sorenya Pangab tiba
di Dili dengan rombongan besar,” tutur Theo.
Begitu
tiba, Pangab langsung memanggil Xanana. Selanjutnya Pangab berdialog dengan
tokoh yang dianggap sebagai pencetus dan otak peristiwa Santa Cruz pada 12
November 1991 itu, disertai seluruh rombongan para asisten Markas Besar ABRI.
Xanana
akhirnya tidak jadi dieksekusi, apalagi ditahan di institusi militer. Ia hanya
diproses berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan
Undang-Undang Subversi.
movimentoprokak.blogspot.com |
Dalam
proses pemeriksaan untuk diadili, seperti penuturan Letjen (Purn.) Johny
Lumintang, yang ketika itu menjabat Komandan Korem Dili, Xanana sempat
melakukan mogok makan di Kodim.
Theo
lalu menanyakan kepada Kepala Polwil Dili Kolonel (Pol) Nugroho Djajoesman, apa
saja yang dipersiapkan dalam menyikapi mogok makannya Xanana. Rupanya yang
tersedia adalah ambulans, sehingga Theo memerintahkan untuk menyiapkan peti
mati.
Dialog
antara Kapolwil dan Theo didengar Xanana. Kebetulan juga Xanana melihat sendiri
peti mati bertanda salib kecil itu baru diletakkan dibalik terali besinya.
Entah kenapa, malam hari ia minta kopi dan makan. Tampaknya Xanana takut mati
juga.
Kisah
menjelang, saat dan sesudah penangkapan Xanana serta implikasinya ini ditulis
sangat menarik dan cukup detail dalam buku Tidar Bhakti Tiada Akhir, yang baru
diluncurkan Desember lalu, dalam rangka 40 tahun pengabdian para alumni Akademi
Militer Nasional (AMN) Magelang Angkatan 1965.
Boleh
jadi, buku ini kali pertama yang membedah kebenaran seputar penangkapan Xanana,
“Mungkin kini sudah saatnya saya harus mengungkapkan kebenaran soal
Xanana,” tutur mantan Panglima Kodam
Udayana, Theo Syafei.
Buku
ini juga mengungkapkan peran penting para perwira Angkatan 1965 dalam tugas
kemiliteran, khususnya operasi militer di Timor Timur, “Ini sebuah pengalaman
yang sangat berharga untuk dijadikan pelajaran bagi pembentukan Tentara
Nasional Indonesia yang profesional,” ungkap Peneliti CSIS, J. Kristiadi dalam
kata pengantar buku ini.
Kurangnya
latihan, sistem persenjataan dan logistik yang sangat terbatas, serta informasi
intelejen yang salah, ternyata membawa dampak yang sangat buruk bagi sebuah
operasi militer. Akibatnya, Fretilin betul-betul siap dalam mengantisipasi
serangan TNI. Dalam buku ini, menariknya para alumni AMN Angkatan 1965
membeberkan semua kekurangan atau kelemahan rencana maupun saat operasi militer
di Timtim itu, “TNI sampai saat
diperintahkan masuk Timtim sudah agak lama tertidur dan terlena akibat absennya
ancaman terhadap Negara Indonesia,” ujar Letjen TNI (Purn.) Soeyono, mantan
Kasum ABRI dan anggota pasukan sukarelawan TNI yang ditugasi ikut merencanakan
Operasi Seroja itu.
www.kaskus.co.id |
Buku
ini juga mencoba menggambarkan bagaimana Angkatan 1965 selalu menjadi bagian
sejarah dan arah republik ini. Mereka menafikkan istilah ABRI hijau, merah
putih dan pelangi. Mereka menentang keras soal kuningisasi yang dilakukan
Kepala Staf TNI Angkaan Darat (Kasad) R. Hartono, bahkan dengan keras menuding
naiknya jenderal asal Madura itu dari Kepala Staf Sosial Politik menjadi Kasad
dilakukan melalui intrik politik lewat koloborasi dengan kalangan istana,
‘Naiknya Hartono menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat di luar kelaziman
dan diwarnai intrik,” ungkap Syamsir Siregar, yang kini menjabat Ketua Badan
Intelijen Negara (BIN).
Pendek
kata, buku ini banyak yang bisa dijadikan pelajaran, khususnya dalam menanamkan nilai-nilai kultur demokrasi
dengan mengkikis sekat-sekat idiologi, sentimen primordial, dan garis batas
sosial ekonomi. Namun, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Misalnya, tidak
ada hak jawab atau komentar R. Hartono atas tudingan soal kenaikan pangkat
menjadi Kasad dan kuningisasi yang menyebabkan TNI telah disalahgunakan menjadi
lembaga politik yang mengabdi pada ambisi perorangan. Andai buku ini dicetak
ulang, akan jauh lebih menarik bila ada komentar R. Hartono. Atau Jenderal yang
dikenal dekat dengan Mbak Tutut ini akan menulis buku sendiri dalam mengamini
atau menyanggah tudingan para perwira Angkatan 1965 itu?
Domery
Alpacino
Tidak ada komentar:
Posting Komentar