Inilah kisah seorang pelukis dan dosen IKJ yang menemukan kebenaran
Islam setelah berdiskusi dengan pelukis Danarto. Kini ia tekun beribadah.
beritafotojakarta.wordpress.com |
Dosen senior di jurusan
Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta ini sudah 40
puluh kali berpameran bersama seniman lain di dalam maupun di luarnegeri. Ia
juga sempat mendapat berbagai penghargaan. Antara lain, penghargaan sebagai
pelukis dengan karya terbaik di Trienalle Senirupa International ke-18 di India
(1994).
Alumni Akademi Kesenian Rotterdam Belanda ini dikenal
sebagai pelukis-pegrafis yang karya-karyanya mempunyai karakter kuat. Kekuatan
dalam warna sekaligus peka terhadap teknik hitam putih -- dengan media apa pun.
Ia juga menggunakan ragam teknik dan gaya yang berbeda, misalnya nonfiguratif
untuk media akrilik pada kanvas dan silk
screen. Untuk karya-karya figuratif dengan media cat minyak dan teknik
grafis lainnya.
Selain tetap memperlihatkan pribadi pelukisnya secara
lugas seperti apa adanya, karya-karya Sukamto memperlihatkan tradisi dan
kepercayaan Jawa: mulai dari mengolah hal-hal spiritual lewat cerita wayang,
maupun ritual kerajaan. Misalnya, Kirab
Pusaka Kraton Solo (cat minyak, 2003), yang memperlihatkan ritual kerajaan
dalam mengarak pusaka keraton. Adegan-adegan kirab, lewat warna-warna segar,
bersih dan cemerlang, dirangkai dengan baik. Sukamto ingin menunjukkan apa saja
yang ada dan terjadi pada acara ritual tersebut.
www.tumblr.com |
Karya lain, Batara
Kala Lahir (cukilan, 1991). Karya grafis ini memperlihatkan bayi Dewa
Kematian sedang menggenggam senjata pamungkas kehidupan. Karakter Batara kala
tidak jauh dari nafsu dan angkara murka. Sedangkan pada Roro Mendut (cukilan, 1997) menunjukkan sikap komtemporer sang
pelukis dalam mengolah legenda. Karya ini merupakan satire terhadap
kehidupan para pria berumur yang memiliki kekasih atau istri muda: yang suatu
saat ditinggalkan secara tragis oleh pasangannya.
Karya-karya mantan Pembantu Dekan II FSR-IKJ (1991-1994)
ini menyajikan kejadian sehari-hari, memperlihatkan tradisi di mana ia hidup
dan dibesarkan. Ia hidup lewat tradisi, cara hidup dan bersosialisasi, kejadian
sehari-hari, dan berubahnya nilai-nilai masyarakat sesuai tuntutan zaman.
Sukamto tercatat dalam sejarah senirupa Indonesia sebagai satu dari sedikit
seniman yang sampai saat ini secara konsisten tetap aktif menekuni seni grafis.
Ada satu episode dalam kehidupan seniman yang pernah
belajar seni grafis selama satu tahun di Institut Teknologi Bandung ini. Ia
pernah mengalami pergulatan batin yang berat. Terutama sejak ia menjadi muslim
yang taat. Pergulatan batin itu ialah: apakah ia harus membuang figur dalam
lukisan-lukisannya, atau membuat figur dalam bentuk abstrak. Atau sebaliknya:
melukis figur seseorang atau mahkluk hidup dengan bebas. Mengapa demikian?
Sebab, Islam memang melarang melukis sosok manusia.
Lelaki yang pernah mengikuti kursus melukis di Himpunan
Budaya Surakarta pada 1964 selama tiga tahun ini masih bingung antara dua
pendapat. Sebagian kalangan menyatakan, Islam melarang kita melukis makhluk
hidup, khususnya manusia, karena bisa menjadikan lukisan figur sebagai “sekutu”
Allah. Tapi, kalangan lain memperbolehkan kita melukis figur asal untuk
keindahan belaka. Dalam tradisi Syiah maupun Suni yang tergolong moderat di
Syiria dan Irak, sebagian ulama memperbolehkan orang melukis figur.
Di balik kebingungannya, pria yang pernah belajar di Akademi Kesenian
Surakarta pada 1960-an itu lalu mengambil jalan tengah: apa salahnya melukis
figur yang menggambarkan sosok yang saleh. Toh, itu demi kemaslahatan umat,
bukan untuk dikultuskan. Maka tak heran, jika belakangan Sukamto tetap melukis
figur yang menggambarkan orang-orang biasa atau mahkluk hidup lain.
Bangsawan Solo
![]() |
Add caption |
Perjalanan hidup lelaki keturunan bangsawan Solo ini
memang penuh warna. Ia memang lahir bukan dari keluarga muslim yang taat,
melainkan dari keluarga yang bertradisi kejawen. Ia lahir pada 13 Maret 1945 di
Solo, Jawa Tengah, bungsu dari tiga bersaudara anak dari pasangan Raden Ngabehi
Soetosoedirdjo dan Raden Nganten Soetosoedirdjo.
Rumah tempat Sukamto lahir di Jalan Gading Wetan, Solo,
berdiri di lahan sekitar satu setengah hektar. Letaknya persis di sebelah barat
Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Luas bangunannya
sekitar 1500 M2, dengan arsitektur joglo.
Di kanan kiri rumah, berdiri puluhan mager sari, yaitu keluarga yang
berpuluh tahun menempati lahan seseorang dan membuat rumah tanpa bayar. Maklum,
mereka kebanyakan masih kerabat atau saudara dekat, meskipun ada juga
orang-orang yang tidak mempunyai pertalian darah.
Di tengah keluarga yang sangat kental dengan tradisi
kejawen seperti itulah, Sukamto kecil tumbuh. Orangtua Sukamto sering melakukan
ritual kejawen, seperti ruwatan tolak
bala; selamatan dengan membagi-bagikan nasi kuning kepada tetangganya; nyekar atau berziarah ke orang-orang
yang dituakan atau dikeramatkan dengan menaburkan kembang dan sesajian lainnya;
nglakoni atau tidak tidur selama 40 hari; memajang kembang setaman, yaitu
sesajian berupa bunga-bungaan di pinggir pintu dan tempat-tempat
tertentu. Tapi, agama yang tercantum pada KTP mereka adalah Islam, sementara
pada setiap bulan Ramadhan mereka juga berpuasa.
Di masa kecil, ketika masih duduk di sekolah rakyat dekat Pasar Klewer,
Solo, Sukamto berteman dengan anak Madura yang tinggal persis di depan rumah.
Anak-anak Madura itu selalu shalat, dan pada bulan Ramadhan mereka suka
mengajak Sukamto ke masjid untuk melakukan shalat taraweh. “Setelah shalat
taraweh, biasanya kami mendapat jaburan
kolak pisang yang dibungkus dengan daun pisang,” kenangnya.
Suatu kali, seorang temannya mengajak Sukamto belajar mengaji Alquran
kepada seorang kyai. Ketika itu, ia masih duduk di kelas empat sekolah rakyat.
Ia ingat betul guru mengaji itu sangat galak. Bila Sukamto tidak bisa membaca
surat-surat pendek, pak kyai tak segan-segan memecutnya dengan bambu. “Akhirnya
saya hanya ikut beberapa kali saja. Setelah itu saya tidak mau lagi. Untuk bisa
membaca huruf Arab saja kok sepertinya susah banget ya,” kata
Sukamto sambil tertawa. Trauma dilecut seperti itu membuat Sukamto enggan
mengaji, dan hal itu berlangsung hingga dewasa.
Beranjak dewasa, seperti kebiasaan sebagian orang Solo, Sukamto sering
pergi ke makam orang-orang keramat di kotanya. Itu biasanya dilakukan setiap
malam Jumat bersama beberapa teman sejak pukul 22:00. Mereka naik sepeda ontel.
Setiba di lokasi sebuah makam mereka duduk-duduk sembari minum kopi di warung
kecil. Ketika itu ia suka mengamati orang-orang yang ngalap berkah atau
mengharapkan berkah dari orang yang telah meninggal. “Sebagian masyarakat Solo
memang sejak dulu suka mencari berkah ke kuburan-kuburan keramat itu,”
tuturnya.
Ketika sudah dewasa dan merintis karir sebagai pelukis, Sukamto sering
melakukan puasa mutih yaitu tidak makan dan minum sepanjang hari; hanya
satu kali makan saja dengan nasi putih dan air putih. Itu namanya laku
prihatin. Hal itu terutama bila ia lama tidak mendapat pesanan untuk melukis
lukisan atau dekor dari seseorang. “Orangtua saya suka memberi nasihat seperti
itu,” ungkap Sukamto. Puasa mutih dilakukannya selama minggu, kadang
juga sampai sebulan. Selain itu, seperti kebiasaan orang-orang Solo di masa
lalu, Sukamto juga sering diajak oleh teman-temannya sesama seniman untuk
melakukan kumkung, yaitu berendam di air sungai untuk beberapa saat
lamanya pada malam hari.
Belajar
Shalat
www.arrahmah.co.id |
“Alhamdullillah, saya sudah
menjalankan shalat lima waktu,” ujar Danarto mantap.
Sejak itu Sukamto selalu bertanya-tanya dalam hati mengenai kehidupan
rohani Danarto. Tapi ia tak berani mengutarakannya secara langsung. Ia hanya
sempat berkata dalam hati: “Apakah Danarto sudah pintar bahasa Arab ya, kok
sekarang ia rajin sembahyang?”. Ketika itu Sukamto masih berpikir bahwa orang
shalat harus bisa bahasa Arab lebih dahulu.
Tiba-tiba, pada suatu hari, Sukamto sempat tercenung
lama mengapa ia tak pernah lagi melakukan shalat. Hidupnya hanya diisi dengan
banyak ngobrol ke sana ke mari, sementara banyak orang lain berbondong-bondong
ke masjid. Mereka tampak tenang dan tidak kemrungsung alias resah
gelisah; jiwanya begitu damai. Suatu pagi, Danarto mengajak Sukamto melakukan
shalat shubuh. Dan setelahn itu Danarto mengajaknya ke sebuah toko buku di
Sarinah Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Danarto membelikan beberapa buku tuntunan
shalat dan doa.
Danarto memberi beberapa tanda pada beberapa bacaan shalat yang harus
dipelajari dan dihafal oleh Sukamto, dengan coretan-coretan tinta merah.
Sukamto pun menghafalkannya sedikit demi sedikit. “Jadi, yang pertama kali
membimbing saya tentang Islam itu ya Danarto,” ujar Sukamto bersyukur.
Kebetulan seorang pelukis lain yang juga dosen di FS-IKJ, yaitu pelukis
Mustika, juga tekun shalat. Sukamto pun hampir setiap hari shalat berjamaah
dengan Mustika.
Berkat ketulusannya merengkuh petunjuk Allah itulah, belakangan Sukamto
mendapatkan jodoh seorang perempuan cantik yang shalihah, Siti Aminah, asal
Magelang, Jawa Tengah. Kini mereka telah dikaruniai dua anak. Menurut cerita
Sukamto, ketika berpacaran isterinya sudah menampakkan keshalehannya. Setiap
kali ia berkunjung ke Magelang, calon mertuanya selalu mengatakan Aminah sedang
shalat. “Saya disuruhnya menunggu sesaat,” kenang Sukamto yang mengaku menikah
pada usia 39 tahun.
“Setelah masuk Islam, saya mendapat ketenangan jiwa. Bila mendapat
keruwetan atau punya problem yang sangat berat, saya tinggal shalat, maka
pikiran menjadi tenang kembali,” kata sang pelukis yang ingin sekali menunaikan
ibadah haji ini. Saat ini ia memang belum memiliki dana yang cukup untuk
menunaikan rukun Islam kelima. Tapi ia sangat yakin, Allah akan memberikan
jalan terbaik dengan melimpahkan rezeki, apalagi jika ada niat kuat untuk
berkunjung ke Rumah Allah.
Kini ia aktif mengikuti pengajian bulanan di wilayah Kelapa Gading,
Jakarta Utara, sementara sang istri mengajar anak-anak SD membaca Alquran dan
bahasa Arab di sebuah masjid di Kelapa Gading. Kegiatan itu dilaksanakan setiap
Sabtu dan Minggu, dari pukul 16.00 hingga 18.00. Jumlah muridnya mencapai 80
anak, mereka belajar gratis. Nyonya Aminah Sukamto sangat sibuk. Pada hari hari
Senin, Selasa, Rabu, melakukan antarjemput anak-anak SD Muhammadiyah. Ia juga
masih sempat mengajar mengaji Alquran di
rumah, terutama kepada kaum ibu. Namanya pengajian, tentu saja gratis. Bahkan
ada minuman ringan segala.
Sukamto mendambakan sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah (bahagia, sejahtera, penuh rahmat).
Karena itu, kepada anak perempuannya ia selalu berpesan: “Kalau punya pacar
atau suami harus yang sama-sama Islam. Karena banyak contoh, orang yang menikah
dengan pasangan yang beda agama lebih banyak tidak cocoknya,” katanya.
Itulah Sukamto, pelukis yang prestasinya diakui oleh dunia internasional,
seorang bapak yang bahagia dengan keluarganya yang salah, lelaki berpenampilan
sederhana yang lebih suka naik bus bila berangkat mengajar ke IKJ, begitu pula
pulangnya. Itulah Sukamto yang saleh, kalem, tapi periang dan suka tertawa.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Bagus! Menggugah semangat menyelami agama. Pintu masuknya bervariasi, termasuk lewat seni.
BalasHapus