Laman

Kamis, 08 September 2005

Menemukan Islam lewat Danarto


Inilah kisah seorang pelukis dan dosen IKJ yang menemukan kebenaran Islam setelah berdiskusi dengan pelukis Danarto. Kini ia tekun beribadah.

beritafotojakarta.wordpress.com
MALAM itu langit bertabur bintang, meski bulan tak lagi purnama. Suatu hari di bulan Juni lalu, sebagian seniman dan para peminat senirupa hadir di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Hampir satu jam mereka menunggu sambil berdiri, menunggu pembukaan pameran lukisan dan grafis karya pelukis Sukamto. Sekitar 50 karya Sukamto digelar: sketsa, lukisan, dan grafis dengan teknik cukilan kayu, etsa, lithografi, linografi, alugrafi, cetak saring serta berbagai teknik campur.

Dosen senior di jurusan  Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta ini sudah 40 puluh kali berpameran bersama seniman lain di dalam maupun di luarnegeri. Ia juga sempat mendapat berbagai penghargaan. Antara lain, penghargaan sebagai pelukis dengan karya terbaik di Trienalle Senirupa International ke-18 di India (1994).


Alumni Akademi Kesenian Rotterdam Belanda ini dikenal sebagai pelukis-pegrafis yang karya-karyanya mempunyai karakter kuat. Kekuatan dalam warna sekaligus peka terhadap teknik hitam putih -- dengan media apa pun. Ia juga menggunakan ragam teknik dan gaya yang berbeda, misalnya nonfiguratif untuk media akrilik pada kanvas dan silk screen. Untuk karya-karya figuratif dengan media cat minyak dan teknik grafis lainnya.

Selain tetap memperlihatkan pribadi pelukisnya secara lugas seperti apa adanya, karya-karya Sukamto memperlihatkan tradisi dan kepercayaan Jawa: mulai dari mengolah hal-hal spiritual lewat cerita wayang, maupun ritual kerajaan. Misalnya, Kirab Pusaka Kraton Solo (cat minyak, 2003), yang memperlihatkan ritual kerajaan dalam mengarak pusaka keraton. Adegan-adegan kirab, lewat warna-warna segar, bersih dan cemerlang, dirangkai dengan baik. Sukamto ingin menunjukkan apa saja yang ada dan terjadi pada acara ritual tersebut.
www.tumblr.com

Karya lain, Batara Kala Lahir (cukilan, 1991). Karya grafis ini memperlihatkan bayi Dewa Kematian sedang menggenggam senjata pamungkas kehidupan. Karakter Batara kala tidak jauh dari nafsu dan angkara murka. Sedangkan pada Roro Mendut (cukilan, 1997) menunjukkan sikap komtemporer sang pelukis dalam mengolah legenda. Karya ini merupakan satire terhadap kehidupan para pria berumur yang memiliki kekasih atau istri muda: yang suatu saat ditinggalkan secara tragis oleh pasangannya.

Karya-karya mantan Pembantu Dekan II FSR-IKJ (1991-1994) ini menyajikan kejadian sehari-hari, memperlihatkan tradisi di mana ia hidup dan dibesarkan. Ia hidup lewat tradisi, cara hidup dan bersosialisasi, kejadian sehari-hari, dan berubahnya nilai-nilai masyarakat sesuai tuntutan zaman. Sukamto tercatat dalam sejarah senirupa Indonesia sebagai satu dari sedikit seniman yang sampai saat ini secara konsisten tetap aktif menekuni seni grafis.

Ada satu episode dalam kehidupan seniman yang pernah belajar seni grafis selama satu tahun di Institut Teknologi Bandung ini. Ia pernah mengalami pergulatan batin yang berat. Terutama sejak ia menjadi muslim yang taat. Pergulatan batin itu ialah: apakah ia harus membuang figur dalam lukisan-lukisannya, atau membuat figur dalam bentuk abstrak. Atau sebaliknya: melukis figur seseorang atau mahkluk hidup dengan bebas. Mengapa demikian? Sebab, Islam memang melarang melukis sosok manusia.  

Lelaki yang pernah mengikuti kursus melukis di Himpunan Budaya Surakarta pada 1964 selama tiga tahun ini masih bingung antara dua pendapat. Sebagian kalangan menyatakan, Islam melarang kita melukis makhluk hidup, khususnya manusia, karena bisa menjadikan lukisan figur sebagai “sekutu” Allah. Tapi, kalangan lain memperbolehkan kita melukis figur asal untuk keindahan belaka. Dalam tradisi Syiah maupun Suni yang tergolong moderat di Syiria dan Irak, sebagian ulama memperbolehkan orang melukis figur.

Di balik kebingungannya, pria yang pernah belajar di Akademi Kesenian Surakarta pada 1960-an itu lalu mengambil jalan tengah: apa salahnya melukis figur yang menggambarkan sosok yang saleh. Toh, itu demi kemaslahatan umat, bukan untuk dikultuskan. Maka tak heran, jika belakangan Sukamto tetap melukis figur yang menggambarkan orang-orang biasa atau mahkluk hidup lain.

Bangsawan Solo

Add caption
Setiap kali hendak memulai melukis ia mengaku tidak membaca basmallah. Hal itu semata-mata karena lupa, mengingat dorongan untuk melukis biasanya datang secara spontan, inspiratif, tak bisa dirancang sebelumnya. Tapi, sesudah shalat ia selalu berdoa: “Ya Allah, semoga saya selalu bisa berkarya dengan bagus dan bermanfaat untuk masyarakat.”

Perjalanan hidup lelaki keturunan bangsawan Solo ini memang penuh warna. Ia memang lahir bukan dari keluarga muslim yang taat, melainkan dari keluarga yang bertradisi kejawen. Ia lahir pada 13 Maret 1945 di Solo, Jawa Tengah, bungsu dari tiga bersaudara anak dari pasangan Raden Ngabehi Soetosoedirdjo dan Raden Nganten Soetosoedirdjo.

Rumah tempat Sukamto lahir di Jalan Gading Wetan, Solo, berdiri di lahan sekitar satu setengah hektar. Letaknya persis di sebelah barat Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Luas bangunannya sekitar 1500 M2, dengan arsitektur joglo. Di kanan kiri rumah, berdiri puluhan mager sari, yaitu keluarga yang berpuluh tahun menempati lahan seseorang dan membuat rumah tanpa bayar. Maklum, mereka kebanyakan masih kerabat atau saudara dekat, meskipun ada juga orang-orang yang tidak mempunyai pertalian darah.

Di tengah keluarga yang sangat kental dengan tradisi kejawen seperti itulah, Sukamto kecil tumbuh. Orangtua Sukamto sering melakukan ritual kejawen, seperti ruwatan tolak bala; selamatan dengan membagi-bagikan nasi kuning kepada tetangganya; nyekar atau berziarah ke orang-orang yang dituakan atau dikeramatkan dengan menaburkan kembang dan sesajian lainnya; nglakoni atau tidak tidur selama 40 hari; memajang kembang setaman, yaitu  sesajian berupa bunga-bungaan di pinggir pintu dan tempat-tempat tertentu. Tapi, agama yang tercantum pada KTP mereka adalah Islam, sementara pada setiap bulan Ramadhan mereka juga berpuasa. 

Di masa kecil, ketika masih duduk di sekolah rakyat dekat Pasar Klewer, Solo, Sukamto berteman dengan anak Madura yang tinggal persis di depan rumah. Anak-anak Madura itu selalu shalat, dan pada bulan Ramadhan mereka suka mengajak Sukamto ke masjid untuk melakukan shalat taraweh. “Setelah shalat taraweh, biasanya kami mendapat jaburan kolak pisang yang dibungkus dengan daun pisang,” kenangnya.

Suatu kali, seorang temannya mengajak Sukamto belajar mengaji Alquran kepada seorang kyai. Ketika itu, ia masih duduk di kelas empat sekolah rakyat. Ia ingat betul guru mengaji itu sangat galak. Bila Sukamto tidak bisa membaca surat-surat pendek, pak kyai tak segan-segan memecutnya dengan bambu. “Akhirnya saya hanya ikut beberapa kali saja. Setelah itu saya tidak mau lagi. Untuk bisa membaca huruf Arab saja kok sepertinya susah banget ya,” kata Sukamto sambil tertawa. Trauma dilecut seperti itu membuat Sukamto enggan mengaji, dan hal itu berlangsung hingga dewasa.

Beranjak dewasa, seperti kebiasaan sebagian orang Solo, Sukamto sering pergi ke makam orang-orang keramat di kotanya. Itu biasanya dilakukan setiap malam Jumat bersama beberapa teman sejak pukul 22:00. Mereka naik sepeda ontel. Setiba di lokasi sebuah makam mereka duduk-duduk sembari minum kopi di warung kecil. Ketika itu ia suka mengamati orang-orang yang ngalap berkah atau mengharapkan berkah dari orang yang telah meninggal. “Sebagian masyarakat Solo memang sejak dulu suka mencari berkah ke kuburan-kuburan keramat itu,” tuturnya.

Ketika sudah dewasa dan merintis karir sebagai pelukis, Sukamto sering melakukan puasa mutih yaitu tidak makan dan minum sepanjang hari; hanya satu kali makan saja dengan nasi putih dan air putih. Itu namanya laku prihatin. Hal itu terutama bila ia lama tidak mendapat pesanan untuk melukis lukisan atau dekor dari seseorang. “Orangtua saya suka memberi nasihat seperti itu,” ungkap Sukamto. Puasa mutih dilakukannya selama minggu, kadang juga sampai sebulan. Selain itu, seperti kebiasaan orang-orang Solo di masa lalu, Sukamto juga sering diajak oleh teman-temannya sesama seniman untuk melakukan kumkung, yaitu berendam di air sungai untuk beberapa saat lamanya pada malam hari.
Belajar Shalat
www.arrahmah.co.id
Pada 1970-an ia hijrah ke Jakarta, dan pernah satu kamar kos dengan pelukis dan sastrawan Danarto selama beberapa tahun. Setelah lama berpisah, suatu saat Sukamto bertemu kembali dengan Danarto. Ia pun sering menginap di rumah Danarto di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sukamto kaget demi dilihatnya Danarto melakukan shalat. “Sekarang kamu shalat, ya?” tanya Sukamto terheran-heran. 

Alhamdullillah, saya sudah menjalankan shalat lima waktu,” ujar Danarto mantap.
Sejak itu Sukamto selalu bertanya-tanya dalam hati mengenai kehidupan rohani Danarto. Tapi ia tak berani mengutarakannya secara langsung. Ia hanya sempat berkata dalam hati: “Apakah Danarto sudah pintar bahasa Arab ya, kok sekarang ia rajin sembahyang?”. Ketika itu Sukamto masih berpikir bahwa orang shalat harus bisa bahasa Arab lebih dahulu.

Tiba-tiba, pada suatu hari, Sukamto sempat tercenung lama mengapa ia tak pernah lagi melakukan shalat. Hidupnya hanya diisi dengan banyak ngobrol ke sana ke mari, sementara banyak orang lain berbondong-bondong ke masjid. Mereka tampak tenang dan tidak kemrungsung alias resah gelisah; jiwanya begitu damai. Suatu pagi, Danarto mengajak Sukamto melakukan shalat shubuh. Dan setelahn itu Danarto mengajaknya ke sebuah toko buku di Sarinah Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Danarto membelikan beberapa buku tuntunan shalat dan doa.

Danarto memberi beberapa tanda pada beberapa bacaan shalat yang harus dipelajari dan dihafal oleh Sukamto, dengan coretan-coretan tinta merah. Sukamto pun menghafalkannya sedikit demi sedikit. “Jadi, yang pertama kali membimbing saya tentang Islam itu ya Danarto,” ujar Sukamto bersyukur. Kebetulan seorang pelukis lain yang juga dosen di FS-IKJ, yaitu pelukis Mustika, juga tekun shalat. Sukamto pun hampir setiap hari shalat berjamaah dengan Mustika. 

Berkat ketulusannya merengkuh petunjuk Allah itulah, belakangan Sukamto mendapatkan jodoh seorang perempuan cantik yang shalihah, Siti Aminah, asal Magelang, Jawa Tengah. Kini mereka telah dikaruniai dua anak. Menurut cerita Sukamto, ketika berpacaran isterinya sudah menampakkan keshalehannya. Setiap kali ia berkunjung ke Magelang, calon mertuanya selalu mengatakan Aminah sedang shalat. “Saya disuruhnya menunggu sesaat,” kenang Sukamto yang mengaku menikah pada usia 39 tahun.

“Setelah masuk Islam, saya mendapat ketenangan jiwa. Bila mendapat keruwetan atau punya problem yang sangat berat, saya tinggal shalat, maka pikiran menjadi tenang kembali,” kata sang pelukis yang ingin sekali menunaikan ibadah haji ini. Saat ini ia memang belum memiliki dana yang cukup untuk menunaikan rukun Islam kelima. Tapi ia sangat yakin, Allah akan memberikan jalan terbaik dengan melimpahkan rezeki, apalagi jika ada niat kuat untuk berkunjung ke Rumah Allah.

Kini ia aktif mengikuti pengajian bulanan di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara, sementara sang istri mengajar anak-anak SD membaca Alquran dan bahasa Arab di sebuah masjid di Kelapa Gading. Kegiatan itu dilaksanakan setiap Sabtu dan Minggu, dari pukul 16.00 hingga 18.00. Jumlah muridnya mencapai 80 anak, mereka belajar gratis. Nyonya Aminah Sukamto sangat sibuk. Pada hari hari Senin, Selasa, Rabu, melakukan antarjemput anak-anak SD Muhammadiyah. Ia juga masih sempat  mengajar mengaji Alquran di rumah, terutama kepada kaum ibu. Namanya pengajian, tentu saja gratis. Bahkan ada minuman ringan segala.

Sukamto mendambakan sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah (bahagia, sejahtera, penuh rahmat). Karena itu, kepada anak perempuannya ia selalu berpesan: “Kalau punya pacar atau suami harus yang sama-sama Islam. Karena banyak contoh, orang yang menikah dengan pasangan yang beda agama lebih banyak tidak cocoknya,” katanya.

Itulah Sukamto, pelukis yang prestasinya diakui oleh dunia internasional, seorang bapak yang bahagia dengan keluarganya yang salah, lelaki berpenampilan sederhana yang lebih suka naik bus bila berangkat mengajar ke IKJ, begitu pula pulangnya. Itulah Sukamto yang saleh, kalem, tapi periang dan suka tertawa. 

 Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

1 komentar:

  1. Bagus! Menggugah semangat menyelami agama. Pintu masuknya bervariasi, termasuk lewat seni.

    BalasHapus