Laman

Jumat, 01 Oktober 2004

Rumahku adalah Surgaku



Meski diusir dan hendak dibunuh, ia tetap memeluk Islam. Ia adalah Lauw Siem Hoat, yang kini muballigh terkenal.


NAMA aslinya Lauw Siem Hoat. Sejak remaja tertarik dengan Islam, akhirnya ia menjadi seorang muslim bahkan tampil sebagai seorang muballigh, berceramah dari mesjid ke mesjid, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kampung ke kampung, dari kota ke kota. Bahkan ia juga pernah diundang berceramah di Singapura dan Malaysia. Waktunya habis buat berdakwah, hampir tidak ada waktu untuk keluarganya.
            Akhirnya, pada suatu saat, ia sempat berpikir, “Dakwah di lingkungan keluarga tentu tidak kalah penting.” Sejak itu ia mulai mengurangi jadual kegiatan dakwah di luar rumah. Bahkan jadual pengajian di Al-Istiqomah, majelis taklim binaannya, juga ia kurangi. Biasanya ia hadir setiap hari, belakangan hanya dua tiga bulan sekali. Maklum, selain tempatnya jauh – di Jonggol, Bogor – untuk menuju ke sana biaya trasportnya pun tentu tidak sedikit. Apalagi ia biasa menyantuni fakir miskin di daerah tersebut.

“Majelis taklim itu saya bentuk setelah saya memeluk Islam untuk mengenang perjalanan hidup saja. Jemaahnya ibu-ibu, jumlahnya sekitar 300 orang,” kata Siem Hoat yang sejak menjadi muslim berganti nama Syarief Hidayatullah. “Majelis taklim itu saya dirikan sekitar tahun 1998, saat terjadi krismon. Masyarakat di sana sebagian besar sangat menderita, sementara saya merasa cukup makmur. Karena itu, saya bertekad membangun majelis taklim sekaligus menyantuni mereka,” katanya lagi.
Kini ia lebih sering di rumah, berdakwah di lingkungan keluarganya sendiri. Ia lebih banyak mencurahkan kasih sayang kepada isteri dan anak-anaknya. Ia berusaha lebih memperhatikan, menumbuh-kembangkan bakat dan kepribadian mereka. Baginya, lebih intensif memperhatikan anak-anak tak kalah penting disbanding dakwah di luar rumah. “Sebab, anak-anak saya sudah mulai menginjak remaja. Hidupnya dekat dengan lingkungan yang tak jauh dari narkoba dan kemaksiatan. Jika tidak mendapat perhatian lebih, saya khawatir mereka terjerumus. Dan, itu sungguh sangat berbahaya,” kata Hidayatullah serius.
Salah satu cara untuk membentengi keluarganya, antara lain, dengan selalu mengajak mereka salat berjemah. Saat Magrib tiba, ia mengajak anak-anaknya salat berjemaah, setelah itu tadarus Al-Quran hingga waktu Isya tiba. Merekapun salat Isya berjemaah. Selain itu, dua tiga hari sekali, ia mengundang seorang ustaz untuk memberikan pengajian, mengisi ruhani mereka. “Kalau orang lain yang menasihati, biasanya lebih kena. Selain itu juga supaya tidak membosankan,” kata Hidayatullah lagi.
Ia mendambakan untuk meniru Rasulullah yang selalu berkumpul dengan keluarga. Rasulullah sendiri menekankan pentingnya selalu “bermain” bersama anak-anak. Kata Rasulullah, “siapa memiliki anak hendaklah ia bermain bersamanya.” Rasulullah juga bersabda, “Siapa yang menggembirakan hati anaknya, ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau untuk menyenangkan hatinya, ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah.” Keluarga sakinah, bahagia, seperti itulah dambaan Hidayatulah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
           

Tak Bebas Bergerak

Sikap seperti itu tak lepas dari pengalaman hidup Hidayatullah. Ia lahir pada 28 Desember 1949 di Palsigunung, Cimanggis, Bogor, bernama Lauw Siem Hoat, yang belakangan diberi nama Indonesia, Hendra Gunawan. Ketika ia masih dalam kandungan ibunda, orangtuanya bercerai – dan tak lama kemudian meninggal. Maka, anak bungsu dari pasangan Tjiam Peng Kim dan Lauw Tjit Nio itu hidup bersama sang ibu. Tapi, setelah ibunya menikah kembali, ia tinggal bersama neneknya.
Sejak kecil ia disayang dan dimanja sangat berlebihan, sehingga ia tak bebas bergerak dan berpikir. Segala tingkah lakunya selalu diawasi oleh sang nenek. Akibatnya ia kurang bisa mandiri, sementara perasaan merasa agak terbelenggu. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama Konghucu yang sangat kental. Ia selalu diajak ke kelenteng untuk menyembah toapekong dengan takzim. Ia ikut pula merayakan tahun baru Implek dan Cap Go Meh yang dirayakan 15 hari sesudah Imlek.
Saat merayakan kedua hari besar itu, sang nenek sering menyuruh Law menyiapkan segala macam makanan untuk disajikan kepada para leluhur yang telah meninggal. Jika makanan sudah disajikan di tempat-tempat tertentu, ia suka mencuri beberapa makanan, khususnya jeruk. Tentu saja ketika nenek dan keluarga lainnya tidak tahu. Belakangan ia bilang bahwa makanan itu sudah dibawa oleh para leluhur ke alam lain. Nenek dan saudara-saudara yang lain pun percaya dan mengucap syukur. Sebaliknya, Law kecil tertawa geli.
            Ketika duduk di kelas lima SD, Law kembali lagi ke rumah ibunya di Cimanggis, Bogor, berkumpul bersama tiga saudara perempuan dan ayah tirinya. Setiap kali pulang sekolah, ia sering membantu ibunya yang membuka sebuah restoran. Suatu hari, seorang pendeta gereja Pantekosta yang juga langganan restoran ibunya, membujuk Law kecil ikut ke gereja dengan janji diajak keliling Jakarta naik mobil. Sejak itu, setiap kali ke gereja ia selalu dijemput. Ia memang diperlakukan sebagai anak sendiri dengan penuh kasih sayang.
            Awalnya, ia diajak ke gereja di daerah Cimanggis, Bogor, setelah itu keliling Jakarta. Belakangan ia diajak ke gereja di daerah Jatinegara, Pecenongan dan beberapa gereja lainnya di Jakarta. Seminggu bisa dua tiga kali ia diajak ke gereja. Sejak itu Law remaja aktif ke gereja, bahkan sering memimpin anak-anak Sekolah Minggu. Ia memang senang bergaul dan bernyanyi. Apalagi, jika menyanyikan lagu-lagu gerejani, suaranya memang merdu.
            Ketika duduk di kelas dua SMA, dan wawasannya bertambah dewasa, ia tak lagi berminat meneruskan kegiatannya di lingkungan gereja. Ia merasa ada sesuatu yang tak memuaskannya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan rohaniahnya. Ia mulai berpikir, tentu aada agama yang lebih memenuhi keinginannya akan kedamaian, ketenangan – jauh dari pesta ria seperti di gereja.
           

Kerasukan Setan

Ia lalu berusaha mencari perbandingan. Kebetulan ketika masih duduk di SMP, selain mengikuti pelajaran agama Kristen ia juga sempat mendengarkan pelajaran agama Islam. Pada suatu hari ia membandingan surat Mathius dalam Injil dengan surat As-Shaf dalam Al-Quran. Dalam Mathius disebutkan, ketika seseorang kerasukan setan minta tolong, Yesus menjawab, “Aku tidaklah diutus melainkan untuk domba-domba Israel yang tersesat.” Artinya, Yesus hanya diutus untuk kaum Israel.
            Dalam surat As-Shaf ayat 6 juga disebutkan bahwa Nabi Isa diutus untuk Bani Israel: Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).
            Al-Quran juga sering menegaskan bahwa Isa adalah anak Maryam, dan sekali-kali bukanlah “anak Tuhan.” Misalnya dalam surat Al-Ikhlas: Allah itu esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Sementara menurut konsep Trinitas, Tuhan itu “tiga dalam satu”, terdiri dari Tuhan Bapa, Tuhan Putra, Tuhan Roh Kudus. Maka, sejak memahami ajaran Islam, Law remaja pun mulai ragu menerima konsep Trinitas. 
            Jiwa anak remaja itu mulai goyah. Rasa penasaran dan keinginan-tahunya semakin besar. Dan berangsur-angsur ia terdorong untuk lebih mempelajari kebenaran Islam. Kebetulan, saat masih duduk di SMA ia sudah pindah rumah ke Jatinegara. Setiap pulang sekolah ia melewati toko buku Atthahriyah. Suatu hari ia mampir ke toko buku tersebut, dan kebetulan matanya tertuju kepada sebuah buku tentang Islam bersampul biru karangan Hasbullah Bakrie (1965).
            Setelah membaca buku itu, ia benar-benar meragukan agama yang selama ini dipeluknya sejak kecil. Semua persoalan yang selama ini meragukannya, terjawab dalam buku tersebut.
Ia berkesimpulan, bahkan dalam kitab suci pun tidak ada konsistensi. Misalnya, dalam surat Galatia, pasal 6 ayat 1, tertulis: “Aku ini Paulus berkata kepadamu, barang siapa yang sunat tidak berlaku lagi bagi Almasih.” Tapi, anehnya ada tafsir di bawah ayat yang menyebutkan bahwa disunat atau tidak, tidak mengapa bagi umat Kristiani.
            Law kemudian memcoba membuka Al-Quran. Ia mendapati surat Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” Sejak membaca ayat 3 surat Al-Maidah itu, kalbunya selalu merindukan kebenaran – meski belum ada keberanian untuk secara terang-terangan memelyuk Islam. Tapi, setiap kali alunan suara azan, jantungnya selalu berdegup keras. Bulu romanya berdiri, keringat dingin mengucur deras.
            Tak lama kemudian, diam-diam ia belajar agama Islam kepada seorang teman. Dan, sekali-sekali, ia pun mencoba mengenakan peci hitam sebagaimana layaknya biasa dikenakan oleh seorang muslim. Akhirnya, keinginannya masuk Islam itu diketahui oleh ibunya. Maka, ibunya pun segera minta tolong dukun agar anaknya tidak tertarik masuk agama Islam. Jarak antara anak dan ibu pun semakin menganga. Dan akhirnya Law remaja terpaksa meninggalkan rumah orangtuanya.
           

Diburu dengan Golok

Karena hasrat untuk segera memeluk Islam tak terbendung lagi, akhirnya ia memutuskan untuk berkirim surat kepada ibunya. “Mama, bukannya saya tidak sayang sama Mama. Tapi, kalau tidak masuk Islam, hati saya tidak akan damai.” Karena dalam surat itu ia juga mengungkit perilaku ayah tiri yang pernah mengusirnya, ayah tiri itu pun kontan berang. Ia segera memburu Law dengan sebilah golok. Untung, orang sekampung menyelamatkan dan menyembunyikannya.
            Singkat cerita, Law yang masih remaja itu menginap di rumah seorang teman di kampung lain. Di sana ia sempat belajar agama secara lebih intensif kepada KH Marzuki dan KH Mansur. Seminggu belajar agama secara intensif, tepat pada usia 18 tahun, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat di rumah KH Ibrahim, disaksikan puluhan santri dan dua guru pembimbingnya. Ia mendapat nama baru: Hidayatullah. Kelak, setelah menuntut ilmu agama di beberapa pesantren, ia mendapat nama tambahan  Syarief, sehingga nama lengkapnya: Syarief Hidayatullah.
            Baru dua hari menjadi muslim, ia mempersiapkan diri untuk dikhitan. Mendengar anaknya mau dikhitan, ibundanya marah besar. Tapi, Hidayatullah menerima kemarahan itu dengan sabar dan tawakal. Sebaliknya ia justru selalu berdoa agar sang ibunya mendapat hidayah dari Allah SWT. Sembuh dari khitan, seseorang mengajaknya mondok  di pesantren milik KH Abdul Halim di Dayeh, Jonggol, Bogor.
            Di pesantren, ia mengalami pendidikan yang keras. Seorang anak remaja yang selama ini hidup dimanjakan orangtua, kini harus menghadapi pendidikan yang sangat ketat, hemat dan prihatin. Makan diatur, harus menerima lauk pauk apa adanya. Apalagi ketika itu, tahun 1967, paceklik sedang melanda. Bukan hanya itu, Hidayatullah juga sangat rindu kepada nenek yang sangat menyayanginya. “Tapi, semua itu sudah saya perhitungkan. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah,” kata Hidayatullah dalam hati sembari pasrah kepada Allah SWT.
            Baru dua tahun nyantri, ia memberanikan diri mendaftar sebagai penilik pendidikan agama di Departemen Agama Kecamatan Jonggol. Ia diterima dan dikaryakan sebagai guru agama di sekolah-sekolah umum dengan gaji Rp1.300. Padahal, kebutuhan hidupnya sehari-hari dua kali lipat dari jumlah gajinya. Setahun kemudian ia mengundurkan diri sebagai pegawai, lalu masuk ke pesantren Sidamukti, Cicurug, Sukabumi. Di pesantren ini ia mengalami kehidupan yang lebih keras dari pesantren sebelumnya. Makan sering tanpa lauk pauk, harus menanak nasi sendiri, dengan jatah beras hanya ¼ liter sehari. Ia juga tak pernah berganti pakaian. Meski begitu, ia percaya pada janji Allah dalam Al-Quran surat Muhammad ayat 7: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
            Tiga tahun mengaji di pondok pesantren, ia mendapat bapak angkat yang membantu memenuhi semua keperluan sekolahnya. Ia pun lalu pindah ke sebuah pesantren di Cianjur. Hanya betah dua tahun di sini, ia pindah lagi ke pesantren Sukasirna, Tenjo, Bogor. Di pesantren inilah, ia “dipinang” oleh KH Hikmah untuk dijodohkan dengan putrinya. Padahal, ia sudah akan dijodohkan oleh bapak angkatnya.
           

Haji Tiga Kali

Akhirnya, kedua tawaran itu tidak berkelanjutan. Hidayatullah – dengan bantuan KH Abdul Halim – mendapat jodoh seorang gadis bernama Fatimah. Mereka pun menikah pada tahun 1976 saat Hidayatullah berusia 27 tahun, sementara Fatimah 14 tahun. Belum sempat menikmati “malam pertama,” Hidayatullah sengaja mengirim isterinya nyantri di salah satu pondok pesantren di Tangerang, sementara ia mengontrak rumah sederhana di Grogol, Jakarta Barat.
            Sejak itu ia mendapat banyak undangan berceramah dari seluruh Indonesia. Ceramah-ceramahnya selalu bernada keras. Begitu keras nada ceramahnya, sehingga beberapa kali ia mendapat peringatan dari petugas keamanan. Akibatnya, ia mesti bolak-balik memenuhi panggilan petugas keamanan. Tapi, alhamdulillah, ia tidak sempat dijebloskan ke dalam penjara. Kesibukannya berdakwah memang luar biasa, sehingga selama delapan tahun belum dikaruniai keturunan.
            Suatu hari, seorang tetangganya hendak menunaikan ibadah haji dan meninggalkan anak yang masih kecil. Rupanya, saat mereka menunaikan rukun Islam kelima itu, si anak jatuh sakit. Maka, Hidayatullah merawat anak itu dengan penuh kasih sayang hingga sembuh, sampai kedua orangtuanya tiba kembali di tanah air. Barangkali berkat jasa baik itu, tak lama kemudian Allah SWT mengaruniai Hidayatullah seorang anak. Dan kini ia sudah mempunyai lima anak yang sehat-sehat.
            Ustadz Syarief Hidayatullah sendiri, alhamdulillah, sudah tiga kali menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Yang pertama pada tahun 1983 atas undangan Rabithah Alam Islami, melalui pondok pesantren Darun Najah, Ulujami, Tangerang. Naik haji yang kedua pada tahun 1996 – yang ia lakukan bersama istri. Kali ini dari hasil keringatnya sendiri. Sedang ibadah haji yang ketiga pada tahun 2002 lalu. “Itu semua bisa terjadi hanyalah semata-mata karena berkah dari Allah SWT,” kata Syarief Hidayatullah tak henti-hentinya mengucap syukur.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar