Meski diusir dan hendak dibunuh, ia tetap memeluk Islam. Ia adalah Lauw Siem Hoat, yang kini muballigh terkenal.
NAMA aslinya Lauw Siem Hoat. Sejak remaja tertarik
dengan Islam, akhirnya ia menjadi seorang muslim bahkan tampil sebagai seorang
muballigh, berceramah dari mesjid ke mesjid, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kampung ke
kampung, dari kota ke kota. Bahkan ia juga pernah diundang berceramah di
Singapura dan Malaysia. Waktunya habis buat berdakwah, hampir tidak ada waktu untuk keluarganya.
Akhirnya,
pada suatu saat, ia sempat berpikir, “Dakwah di lingkungan keluarga tentu tidak
kalah penting.” Sejak itu ia mulai mengurangi jadual kegiatan dakwah di luar
rumah. Bahkan jadual pengajian di Al-Istiqomah, majelis taklim binaannya, juga
ia kurangi. Biasanya ia hadir setiap hari, belakangan hanya dua tiga bulan
sekali. Maklum, selain tempatnya jauh – di Jonggol, Bogor – untuk menuju ke
sana biaya trasportnya pun tentu tidak sedikit. Apalagi ia biasa menyantuni
fakir miskin di daerah tersebut.
“Majelis taklim itu saya bentuk
setelah saya memeluk Islam untuk mengenang perjalanan hidup saja. Jemaahnya
ibu-ibu, jumlahnya sekitar 300 orang,” kata Siem Hoat yang sejak menjadi muslim
berganti nama Syarief Hidayatullah. “Majelis taklim itu saya dirikan sekitar
tahun 1998, saat terjadi krismon. Masyarakat di sana sebagian besar sangat
menderita, sementara saya merasa cukup makmur. Karena itu, saya bertekad
membangun majelis taklim sekaligus menyantuni mereka,” katanya lagi.
Kini ia lebih sering di rumah,
berdakwah di lingkungan keluarganya sendiri. Ia lebih banyak mencurahkan kasih
sayang kepada isteri dan anak-anaknya. Ia berusaha lebih memperhatikan,
menumbuh-kembangkan bakat dan kepribadian mereka. Baginya, lebih intensif
memperhatikan anak-anak tak kalah penting disbanding dakwah di luar rumah.
“Sebab, anak-anak saya sudah mulai menginjak remaja. Hidupnya dekat dengan
lingkungan yang tak jauh dari narkoba dan kemaksiatan. Jika tidak mendapat
perhatian lebih, saya khawatir mereka terjerumus. Dan, itu sungguh sangat
berbahaya,” kata Hidayatullah serius.
Salah satu cara untuk
membentengi keluarganya, antara lain, dengan selalu mengajak mereka salat
berjemah. Saat Magrib tiba, ia mengajak anak-anaknya salat berjemaah, setelah
itu tadarus Al-Quran hingga waktu Isya tiba. Merekapun salat Isya berjemaah.
Selain itu, dua tiga hari sekali, ia mengundang seorang ustaz untuk memberikan
pengajian, mengisi ruhani mereka. “Kalau orang lain yang menasihati, biasanya
lebih kena. Selain itu juga supaya tidak membosankan,” kata Hidayatullah lagi.
Ia mendambakan untuk meniru
Rasulullah yang selalu berkumpul dengan keluarga. Rasulullah sendiri menekankan
pentingnya selalu “bermain” bersama anak-anak. Kata Rasulullah, “siapa memiliki
anak hendaklah ia bermain bersamanya.” Rasulullah juga bersabda, “Siapa yang
menggembirakan hati anaknya, ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang
bergurau untuk menyenangkan hatinya, ia bagaikan menangis karena takut kepada
Allah.” Keluarga sakinah, bahagia, seperti itulah dambaan Hidayatulah,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat At-Tahrim ayat 6: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Tak Bebas Bergerak
Sikap seperti itu tak lepas
dari pengalaman hidup Hidayatullah. Ia lahir pada 28 Desember 1949 di
Palsigunung, Cimanggis, Bogor, bernama Lauw Siem Hoat, yang belakangan diberi
nama Indonesia, Hendra Gunawan. Ketika ia masih dalam kandungan ibunda, orangtuanya
bercerai – dan tak lama kemudian meninggal. Maka, anak bungsu dari pasangan
Tjiam Peng Kim dan Lauw Tjit Nio itu hidup bersama sang ibu. Tapi, setelah
ibunya menikah kembali, ia tinggal bersama neneknya.
Sejak kecil ia disayang dan
dimanja sangat berlebihan, sehingga ia tak bebas bergerak dan berpikir. Segala
tingkah lakunya selalu diawasi oleh sang nenek. Akibatnya ia kurang bisa
mandiri, sementara perasaan merasa agak terbelenggu. Sejak kecil ia mendapat
pendidikan agama Konghucu yang sangat kental. Ia selalu diajak ke kelenteng
untuk menyembah toapekong dengan takzim. Ia ikut pula merayakan tahun baru
Implek dan Cap Go Meh yang dirayakan 15 hari sesudah Imlek.
Saat merayakan kedua hari besar
itu, sang nenek sering menyuruh Law menyiapkan segala macam makanan untuk
disajikan kepada para leluhur yang telah meninggal. Jika makanan sudah
disajikan di tempat-tempat tertentu, ia suka mencuri beberapa makanan,
khususnya jeruk. Tentu saja ketika nenek dan keluarga lainnya tidak tahu.
Belakangan ia bilang bahwa makanan itu sudah dibawa oleh para leluhur ke alam
lain. Nenek dan saudara-saudara yang lain pun percaya dan mengucap syukur.
Sebaliknya, Law kecil tertawa geli.
Ketika
duduk di kelas lima SD, Law kembali lagi ke rumah ibunya di Cimanggis, Bogor,
berkumpul bersama tiga saudara perempuan dan ayah tirinya. Setiap kali pulang
sekolah, ia sering membantu ibunya yang membuka sebuah restoran. Suatu hari,
seorang pendeta gereja Pantekosta yang juga langganan restoran ibunya, membujuk
Law kecil ikut ke gereja dengan janji diajak keliling Jakarta naik mobil. Sejak
itu, setiap kali ke gereja ia selalu dijemput. Ia memang diperlakukan sebagai
anak sendiri dengan penuh kasih sayang.
Awalnya,
ia diajak ke gereja di daerah Cimanggis, Bogor, setelah itu keliling Jakarta.
Belakangan ia diajak ke gereja di daerah Jatinegara, Pecenongan dan beberapa
gereja lainnya di Jakarta. Seminggu bisa dua tiga kali ia diajak ke gereja.
Sejak itu Law remaja aktif ke gereja, bahkan sering memimpin anak-anak Sekolah
Minggu. Ia memang senang bergaul dan bernyanyi. Apalagi, jika menyanyikan
lagu-lagu gerejani, suaranya memang merdu.
Ketika
duduk di kelas dua SMA, dan wawasannya bertambah dewasa, ia tak lagi berminat
meneruskan kegiatannya di lingkungan gereja. Ia merasa ada sesuatu yang tak
memuaskannya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan rohaniahnya. Ia mulai
berpikir, tentu aada agama yang lebih memenuhi keinginannya akan kedamaian,
ketenangan – jauh dari pesta ria seperti di gereja.
Kerasukan Setan
Ia lalu berusaha mencari perbandingan.
Kebetulan ketika masih duduk di SMP, selain mengikuti pelajaran agama Kristen
ia juga sempat mendengarkan pelajaran agama Islam. Pada suatu hari ia
membandingan surat Mathius dalam Injil dengan surat As-Shaf dalam
Al-Quran. Dalam Mathius disebutkan, ketika seseorang kerasukan setan minta
tolong, Yesus menjawab, “Aku tidaklah diutus melainkan untuk domba-domba Israel
yang tersesat.” Artinya, Yesus hanya diutus untuk kaum Israel.
Dalam
surat As-Shaf ayat 6 juga disebutkan bahwa Nabi Isa diutus untuk Bani
Israel: Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun)
sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang
Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).
Al-Quran
juga sering menegaskan bahwa Isa adalah anak Maryam, dan sekali-kali bukanlah
“anak Tuhan.” Misalnya dalam surat Al-Ikhlas: Allah itu esa, tidak
beranak, tidak diperanakkan, tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Sementara
menurut konsep Trinitas, Tuhan itu “tiga dalam satu”, terdiri dari Tuhan Bapa, Tuhan Putra, Tuhan
Roh Kudus. Maka, sejak memahami ajaran Islam, Law remaja pun mulai ragu
menerima konsep Trinitas.
Jiwa anak remaja itu mulai goyah. Rasa penasaran dan keinginan-tahunya semakin
besar. Dan berangsur-angsur ia terdorong untuk lebih mempelajari kebenaran
Islam. Kebetulan, saat masih duduk di SMA ia sudah pindah
rumah ke Jatinegara. Setiap pulang sekolah ia melewati toko buku Atthahriyah.
Suatu hari ia mampir ke toko buku tersebut, dan kebetulan matanya tertuju
kepada sebuah buku tentang Islam bersampul biru karangan Hasbullah Bakrie
(1965).
Setelah
membaca buku itu, ia benar-benar meragukan agama yang selama ini dipeluknya
sejak kecil. Semua persoalan yang selama ini meragukannya, terjawab dalam buku
tersebut.
Ia berkesimpulan, bahkan dalam kitab suci pun tidak
ada konsistensi. Misalnya, dalam surat Galatia, pasal 6 ayat 1, tertulis: “Aku
ini Paulus berkata kepadamu, barang siapa yang sunat tidak berlaku lagi bagi
Almasih.” Tapi, anehnya ada tafsir di bawah ayat yang menyebutkan bahwa disunat
atau tidak, tidak mengapa bagi umat Kristiani.
Law
kemudian memcoba membuka Al-Quran. Ia mendapati surat Al-Maidah ayat 3:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” Sejak
membaca ayat 3 surat Al-Maidah itu, kalbunya selalu merindukan kebenaran
– meski belum ada keberanian untuk secara terang-terangan memelyuk Islam. Tapi,
setiap kali alunan suara azan, jantungnya selalu berdegup keras. Bulu romanya
berdiri, keringat dingin mengucur deras.
Tak
lama kemudian, diam-diam ia belajar agama Islam kepada seorang teman. Dan,
sekali-sekali, ia pun mencoba mengenakan peci hitam sebagaimana layaknya biasa
dikenakan oleh seorang muslim. Akhirnya, keinginannya masuk Islam itu diketahui
oleh ibunya. Maka, ibunya pun segera minta tolong dukun agar anaknya tidak
tertarik masuk agama Islam. Jarak antara anak dan ibu pun semakin menganga. Dan
akhirnya Law remaja terpaksa meninggalkan rumah orangtuanya.
Diburu dengan Golok
Karena hasrat untuk segera
memeluk Islam tak terbendung lagi, akhirnya ia memutuskan untuk berkirim surat
kepada ibunya. “Mama, bukannya saya tidak sayang sama Mama. Tapi, kalau tidak
masuk Islam, hati saya tidak akan damai.” Karena dalam surat itu ia juga
mengungkit perilaku ayah tiri yang pernah mengusirnya, ayah tiri itu pun kontan
berang. Ia segera memburu Law dengan sebilah golok. Untung, orang sekampung
menyelamatkan dan menyembunyikannya.
Singkat
cerita, Law yang masih remaja itu menginap di rumah seorang teman di kampung
lain. Di sana ia sempat belajar agama secara lebih intensif kepada KH Marzuki
dan KH Mansur. Seminggu belajar agama secara intensif, tepat pada usia 18
tahun, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat di rumah KH Ibrahim, disaksikan
puluhan santri dan dua guru pembimbingnya. Ia mendapat nama baru: Hidayatullah.
Kelak, setelah menuntut ilmu agama di beberapa pesantren, ia mendapat nama
tambahan Syarief, sehingga nama
lengkapnya: Syarief Hidayatullah.
Baru
dua hari menjadi muslim, ia mempersiapkan diri untuk dikhitan. Mendengar
anaknya mau dikhitan, ibundanya marah besar. Tapi, Hidayatullah menerima
kemarahan itu dengan sabar dan tawakal. Sebaliknya ia justru selalu berdoa agar
sang ibunya mendapat hidayah dari Allah SWT. Sembuh dari khitan, seseorang
mengajaknya mondok di pesantren
milik KH Abdul Halim di Dayeh, Jonggol, Bogor.
Di
pesantren, ia mengalami pendidikan yang keras. Seorang anak remaja yang selama
ini hidup dimanjakan orangtua, kini harus menghadapi pendidikan yang sangat
ketat, hemat dan prihatin. Makan diatur, harus menerima lauk pauk apa adanya.
Apalagi ketika itu, tahun 1967, paceklik sedang melanda. Bukan hanya itu,
Hidayatullah juga sangat rindu kepada nenek yang sangat menyayanginya. “Tapi,
semua itu sudah saya perhitungkan. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah,” kata
Hidayatullah dalam hati sembari pasrah kepada Allah SWT.
Baru
dua tahun nyantri, ia memberanikan diri mendaftar sebagai penilik pendidikan
agama di Departemen Agama Kecamatan Jonggol. Ia diterima dan dikaryakan sebagai
guru agama di sekolah-sekolah umum dengan gaji Rp1.300. Padahal, kebutuhan
hidupnya sehari-hari dua kali lipat dari jumlah gajinya. Setahun kemudian ia
mengundurkan diri sebagai pegawai, lalu masuk ke pesantren Sidamukti, Cicurug,
Sukabumi. Di pesantren ini ia mengalami kehidupan yang lebih keras dari
pesantren sebelumnya. Makan sering tanpa lauk pauk, harus menanak nasi sendiri,
dengan jatah beras hanya ¼ liter sehari. Ia juga tak pernah berganti pakaian.
Meski begitu, ia percaya pada janji Allah dalam Al-Quran surat Muhammad
ayat 7: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Tiga
tahun mengaji di pondok pesantren, ia mendapat bapak angkat yang membantu
memenuhi semua keperluan sekolahnya. Ia pun lalu pindah ke sebuah pesantren di
Cianjur. Hanya betah dua tahun di sini, ia pindah lagi ke pesantren Sukasirna, Tenjo,
Bogor. Di pesantren inilah, ia “dipinang” oleh KH Hikmah untuk dijodohkan
dengan putrinya. Padahal, ia sudah akan dijodohkan oleh bapak angkatnya.
Haji Tiga Kali
Akhirnya, kedua tawaran itu
tidak berkelanjutan. Hidayatullah – dengan bantuan KH Abdul Halim – mendapat
jodoh seorang gadis bernama Fatimah. Mereka pun menikah pada tahun 1976 saat
Hidayatullah berusia 27 tahun, sementara Fatimah 14 tahun. Belum sempat
menikmati “malam pertama,” Hidayatullah sengaja mengirim isterinya nyantri
di salah satu pondok pesantren di Tangerang, sementara ia mengontrak rumah
sederhana di Grogol, Jakarta Barat.
Sejak
itu ia mendapat banyak undangan berceramah dari seluruh Indonesia.
Ceramah-ceramahnya selalu bernada keras. Begitu keras nada ceramahnya, sehingga
beberapa kali ia mendapat peringatan dari petugas keamanan. Akibatnya, ia mesti
bolak-balik memenuhi panggilan petugas keamanan. Tapi, alhamdulillah, ia tidak
sempat dijebloskan ke dalam penjara. Kesibukannya berdakwah memang luar biasa,
sehingga selama delapan tahun belum dikaruniai keturunan.
Suatu
hari, seorang tetangganya hendak menunaikan ibadah haji dan meninggalkan anak
yang masih kecil. Rupanya, saat mereka menunaikan rukun Islam kelima itu, si
anak jatuh sakit. Maka, Hidayatullah merawat anak itu dengan penuh kasih sayang
hingga sembuh, sampai kedua orangtuanya tiba kembali di tanah air. Barangkali
berkat jasa baik itu, tak lama kemudian Allah SWT mengaruniai Hidayatullah
seorang anak. Dan kini ia sudah mempunyai lima anak yang sehat-sehat.
Ustadz
Syarief Hidayatullah sendiri, alhamdulillah, sudah tiga kali menunaikan rukun
Islam yang kelima itu. Yang pertama pada tahun 1983 atas undangan Rabithah Alam
Islami, melalui pondok pesantren Darun Najah, Ulujami, Tangerang. Naik haji
yang kedua pada tahun 1996 – yang ia lakukan bersama istri. Kali ini dari hasil
keringatnya sendiri. Sedang ibadah haji yang ketiga pada tahun 2002 lalu. “Itu
semua bisa terjadi hanyalah semata-mata karena berkah dari Allah SWT,” kata
Syarief Hidayatullah tak henti-hentinya mengucap syukur.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar