Meski sering mendapat
iming-iming agar kembali pada agama semula, ia tetap mempertahankan Islam sebagai agamanya. Dalam keadaan miskin,
ia tetap menjalani agama penuh berkah ini dengan rasa sabar dan syukur.
Ba’da Isya, akhir Juni 2004. Alunan pembacaan
ayat-ayat suci Al-Quran sayup-sayup terdengar dari sebuah rumah tipe 21 --
dengan luas tanah berukuran 60 M2 --
di daerah Binong Permai, Tangerang, Banten. Makin dekat, tampak seorang bapak
sedang belajar mengaji kepada anak sulungnya yang baru saja lulus dari SMP
Negeri 6, Tangerang. Bapak dari empat anak ini, tak lain bernama Mulyadi
Lesmana, seorang keturunan Tionghoa,
yang sejak 15 tahun lalu telah menjadi muslim. “Hampir setiap ba’da Isya hingga
kurang lebih dua jam lamanya, saya belajar mengaji kepada anak sulung saya,”
tutur Mulyadi, terus terang.
Menurut Mulyadi, anak sulungnya yang bernama Andi
Mulya ini seperti mendapat rahmat dari Allah SWT. Ia mampu mengaji dengan tajwid yang cukup
terpelihara. Padahal, ia tak pernah belajar mengaji secara khusus kepada seorang
guru ngaji. Ia hanya beberapa hari pernah belajar mengaji kepada seorang kiai
lalu ditinggalkannya. Pasalnya, kawan-kawannya sering mengejek karena ia
seorang Cina miskin.